irwantoshut.com
 
 


 
 
 


 

PICTURE - 1 PICTURE - 2 PAPUA
SUKU XINGU SANGAT UNIK DI TENGAH HUTAN AMAZON

KEHIDUPAN MASYARAKAT TERPENCIL
BAGIAN UTARA PULAU SERAM

Oleh : Irwanto, 2008

Pada Wilayah Utara Pulau Seram masih terdapat daerah-daerah yang sulit untuk dijangkau. Letak desa desa ini terpencil jauh dan belum ada jalan kendaraan yang dapat menghubungkannya.

Untuk menempuh desa-desa tersebut hanya dimungkinkan dengan berjalan kaki. Perjalanannya memakan waktu beberapa hari untuk bisa tiba di desa tujuan.

Beberapa desa yang terdapat di bagian utara Pulau Seram ini adalah Kanike, Roho, Huaulu dan Solea. Masyarakat yang hidup di daerah ini menjadi terisolasi karena belum ada infrastruktur yang tersedia. Infrastruktur yang sangat penting seperti transportasi, komunikasi, penerangan (listrik), kesehatan, air bersih dan jasa lainnya belum dapat dinikmati oleh masyarakat, sedangkan fasilitas pendidikan hanya pada tingkat SD saja.

orang pulau seram

Daerah - daerah ini terpencil karena banyak sungai deras yang harus dilalui, jalanan yang curam, turun naik lembah dan pegunungan. Kelerengan tempat lebih dari 60 % menyebabkan perjalanan ke desa-desa tersebut lebih sulit. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat sangat kesulitan untuk mengakses bahan kebutuhan lain dan penjualan hasil panen tidak terjadi secara lancar. Masyarakat harus menunggu pedagang pengumpul yang datang ke desa untuk membeli hasil panen, dan apabila mereka harus keluar desa maka semua kebutuhan hidup rumahtangga harus dibelanjakan untuk persediaan.

Aksesibilitas dari kota kecamatan Wahai menuju desa-desa tersebut dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel. Aksesibilitas dari Kota Kecamatan (Wahai) ke desa

Dari – Ke

Jarak (km)

Waktu

Sarana Angkutan

Wahai

Solea

8 km

2 – 3 jam

Jalan kaki

Wahai

Roho Gunung

20 km

1 hari

Jalan kaki

Wahai

Huaulu

25 km

2 hari

Jalan kaki

Wahai

Kanike

35 km

3 hari

Jalan kaki

Masyarakat hidup berdampingan dan sangat bergantung pada alam. Mereka memungut hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Usaha di bidang pertanian juga dilakukan tapi lebih bersifat subsisten yaitu tidak bersifat komersil hanya untuk dikonsumsi saja. Ada beberapa masyarakat yang masih menebang hutan untuk membuka lahan pertanian. Hal terjadi karena sistem pertaniannya masih sangat tradisonal dan belum berkembang. Setelah lahan pertanian yang ditanami beberapa kali produksinya menurun, mereka kemudian mencari dan membuka lahan baru untuk bercocok tanam. Tetapi ada tempat-tempat tertentu dikeramatkan yang tidak boleh ditebang ataupun dijamah dan masuki. Mereka percaya bahwa tempat-tempat ini ada penunggunya atau percaya bahwa para leluhur mereka mendiami tempat tersebut. Inilah yang membuat tempat-tempat tersebut tetap aman dan lestari.

Selain itu kegiatan perburuan atau memasang perangkap untuk satwa liar yang bisa dijadikan sumber protein masih tetap dilakukan. Bila hasil tersebut berlebihan mereka dapat mengawetkannya (mengasinkan) untuk dijual menambah penghasilan keluarga. Ada yang menggunakan senapan angin untuk mencari satwa buruan seperti burung-burung hutan, kus-kus dan lainnya. Hasil-hasil ini menjadi konsumsi sehari-hari oleh masyarakat tersebut.

Kegiatan perburuan satwa kadang menemui tantangan berkaitan dengan adanya satwa-satwa yang dilindungi oleh undang-undang. Apalagi wilayah mereka berbatasan dengan Taman Nasional Manusela bahkan ada desa-desa yang merupakan desa enclave yaitu desa yang berada dalam kawasan konservasi tersebut.

orang solea berburu di hutan
Masyakat yang mencari sumber
penghidupan di kebun dan hutan

Sarana komunikasi dan penerangan belum dirasakan oleh masyarakat tersebut. Untuk penerangan malam hari mereka memanfaat lampu pelita dengan bahan bakar minyak tanah atau bahan bakar tradisional yang diambil dari alam. Ketersediaan sarana transportasi, sarana komunikasi dan penerangan yang terbatas ini menyebabkan masyarakat terisolasi untuk melakukan berbagai macam kegiatan, apalagi menyangkut transaksi dagang di antara desa-desa yang bertetangga.

Masyarakat ini bekerja dalam bidang pertanian sebagai mata pencaharian utama. Lahan yang diusahakan seluas 2 – 3 ha, dengan jenis tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman pangan dan palawija seperti pisang, keladi, ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah, selain itu juga mengusahakan tanaman sayuran. Hasil panen dari tanaman pangan dan sayuran hanya untuk dikonsumsi oleh petani dan keluarganya, dan jika ada lebihnya baru akan dijual. Hasil dari penjualan tanaman-tanaman tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain. Selain tanaman pangan dan sayuran, mereka juga mengusahakan tanaman perkebunan dan buahan seperti kelapa, cengkih, kakao, durian, langsat dan cempedak. Hasil panen dari tanaman perkebunan ini biasanya dijual pendapatan utama bagi rumah tangga.

Dalam kaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam (baik hayati maupun nabati), budaya ”sasi” sebagai norma budaya secara turun temurun, masih tetap dilestarikan/dipertahankan oleh masyarakat. Pelaksanaan sistem sasi umumnya dilakukan oleh lembaga adat dan lembaga keagamaan. Pada dasarnya pelaksanaan sasi merupakan larangan untuk mengambil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian untuk menjaga mutu dan populasi sumberdaya alam dimaksud.

Larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam, ataupun dengan wilayah yang dikenakan larangan tersebut. Dengan demikian, sasi merupakan upaya untuk memelihara tata krama (pranata sosial) hidup bermasyarakat, termasuk upaya pemerataan pembagian hasil sumberdaya alam bagi penduduk di wilayah pedesaan.

Pelaksanaan sistem sasi umumnya diberlakukan untuk sumberdaya hutan, jenis tanaman perkebunan, seperti kelapa dan cengkih, serta air (Udang, Ikan, Belut dan lainnya). Apabila ada penduduk yang melanggar sasi akan dikenakan sanksi oleh Saniri Negeri berupa denda. Selain sasi, ada juga istilah “kewang” dalam struktur adat yang berfungsi menjaga kelestarian hutan. Apabila ada yang melanggar peraturan yang ditetapkan oleh kewang maka ada sanksi atau denda yang diberikan oleh kewang melalui Saniri Negeri sebagai pengambil keputusan.

orang adat
Masyarakat Pegunungan

Persepsi masyarakat terhadap lingkungan hidup adalah kehidupan ini sangat bergantung oleh ketersediaan sumberdaya alam. Masyarakat hidup dari lingkungan, sehingga lingkungan hidup perlu dijaga dan dilestarikan. Berbagai macam sumberdaya hayati yang diperoleh dari alam agar dapat dikelola secara baik dan benar untuk pemenuhan semua kebutuhan hidup secara berkelanjutan.

Dalam pembangunan desanya masyarakat mengharapkan bantuan seperti pembuatan sarana dan prasarana jalan, penerangan, sarana peribadatan, bibit tanaman, pupuk dan pembasmi hama & penyakit tanaman, serta bantuan sarana kesehatan dan Obat-obatan.

Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang masyarakat adalah malaria, flu, batuk, muntaber, rematik, penyakit kulit, demam. Untuk mengantisipasi dan sekaligus mengobati penyakit-penyakit ini biasanya masyarakat setempat mempergunakan pengobatan secara tradisional dengan memakai tumbuhan-tumbuhan yang ada di sekitar desa sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh dari orang tua.

Artikel Terkait :

   
lorius domicela lorius domicela
HOME
GLOBAL WARMING
INDONESIA FOREST
INDONESIA BIODIVERSITY
CDM IN INDONESIA
MANGROVE FOREST
THE IMPORTANCE OF TREES
FOREST AND ECOLOGY
KIND OF CONSERVATION
KIND OF BIODIVERSITY
HOW PLANTS GROW
FOREST PICTURES
FACEBOOK
PENELITIAN
PAPER / ARTIKEL
KULIAH KEHUTANAN
PERJALANAN
DIARY
GALERI PHOTO
INFO SEPUTAR HUTAN
PROSIDING NFP
KESEHATAN TUBUH
KOTA AMBON
UNIVERSITAS PATTIMURA
TIPS MAHASISWA
BIODATA IRWANTO
PHOTO PRIBADI
FACEBOOK IRWANTO