SISTEM PEMANFAATAN LAHAN DAN ADAT ISTIADAT
DI DESA UWEN,
KECAMATAN TANIWEL
SERAM BARAT PROVINSI MALUKU
Irwanto, 2008
Sejarah Desa Uwen.
Desa Uwen adalah suatu desa definitif yang terletak di Kecamatan Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat. Desa Uwen merupakan desa di pesisir pantai yang lebih dikenal dengan nama ”Desa Uwen Pantai”. Pada saat ini jumlah penduduknya telah mencapai 73 KK dengan 264 jiwa. Di dalam daerah petuanan desa Uwen juga terdapat desa-desa definitif seperti Musuhuei, Solea, Tonusa dan Waraloin. Menurut sejarah desa Uwen dibentuk dari perwakilan masyarakat yang bermukim di daerah gunung, tujuan utamanya menjaga keamanan daerah pantai.
Masing-masing desa memberikan wakilnya yang mempunyai keberanian untuk menjaga keamanan daerah pesisir pantai dari serang musuh pada saat itu. Dari sinilah berawal terbentuknya desa Uwen Pantai yang mempunyai petuanan di daerah pesisir pantai. |
|
Sekitar tahun 1950-an terjadi gangguan keamanan di daerah Maluku. Agar memudahkan pengawasan dan keamanan, masyarakat desa-desa di daerah pegunungan turun membuat pemukiman di pesisir pantai. Salah satu daerah yang menjadi tujuan adalah petuanan Desa Uwen Pantai. Dari masyarakat gunung ini terbentuk desa seperti Tonusa, Musuhuei, Solea dan Waraloin.
Saat ini desa-desa tersebut dihimpun dalam satu jemaat yang bernama ”Jemaat Uwen Gabungan”. Kehidupan bergereja yang harmonis membuat rasa saling menghargai antara desa satu dengan desa yang lain. Hal ini yang menyebabkan permasalahan mengenai batas lahan dan batas petuanan tidak muncul dipermukaan.
Walaupun demikian dengan bertambahnya jumlah penduduk membuat daerah ini semakin padat dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan-persoalan baru.
Pola Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan
Masyarakat memanfaatkan lahan dengan menanam dan mengkombinasikan berbagai jenis tanaman, baik berbentuk sistem agroforestri sederhana atau pun sistem agroforestri kompleks sehingga lahan mereka mirip dengan ekosistem hutan.
Kebun yang dekat dengan pemukiman lebih banyak menggunakan sistem tumpang sari : jenis tanaman perkebunan dan tanaman pertanian, misalnya ”kelapa – coklat” atau ”kelapa – nenas”, selain itu terdapat kombinasi lebih dari dua jenis tanaman misalnya ”kelapa – nenas – pisang”.
Keluhan masyarakat untuk tanaman coklat di lapangan banyak terserang hama penyakit menyebabkan produksi menurun sehingga berdampak pada turunnya pendapatan masyarakat dari komoditi ini.
Pola pemanfaatan lahan dengan Kelapa – Nenas – Pisang
Dalam upaya menjaga kelestarian hasil, masyarakat menerapkan sistem ”Sasi Gereja” pada tanaman perkebunan mereka. Setelah upacara ”Buka Sasi” baru diperbolehkan memanen hasil kebun tersebut. Sasi Gereja ini dilakukan untuk beberapa jenis tanaman perkebunan seperti kelapa.
Sasi Gereja Untuk Kelapa
Lahan masyarakat milik perorangan biasanya ditandai dengan pohon dan tanaman hidup dari jenis gamal (Gliricidia sp), linggua (Pterocarpus indicus) dan gadihu. Tanaman-tanaman ini dibuat pemiliknya sebagai tanda batas kepemilikan lahan, tetapi ada juga masyarakat yang membiarkan lahannya tidak memberikan batas/tanda.
Pagar penghalang dari bambu sering juga dibuat selain sebagai batas, kegunaan lain untuk melindungi tanaman dari serangan hama babi hutan.
Pagar Bambu sebagai batas dan melindungi tanaman
dari serangan hama babi hutan
Pada petuanan desa Uwen terdapat jalan logging milik kontraktor yang bekerja sama dengan Koperasi Batusole dengan lokasi penebangan pada petuanan desa Rumapelu. Jalan logging melewati petuanan desa Uwen dan mempergunakan beberapa hektar lokasi di sekitar pantai desa Uwen sebagai areal Log pond.
Menurut masyarakat kontraktor tersebut kurang memperhatikan kelestarian lingkungan terutama di sekitar daerah aliran sungai.
Areal Log Pond kegiatan Logging
Adat Istiadat.
Dalam kehidupan sehari-hari norma-norma adat istiadat dan sosial budaya setempat warisan dari leluhur sudah hampir ditinggalkan. Penentuan tingkatan masyarakat dalam kelembagaan adat dengan tugas dan fungsi masing-masing golongan tidak terlihat lagi. Pembagian masyarakat dalam kelembagaan adat seperti golongan Raja, Saniri Negeri dan Kewang sesuai aturan adat sudah hampir dilupakan. Bahkan pada generasi muda yang sekarang sudah tidak mengetahuinya lagi.
Menurut aturan adat hanya marga-marga tertentu saja yang dapat melakukan atau ditetapkan dalam tugas atau golongan Raja, Saniri Negeri dan Kewang. Untuk yang berhak menjadi Raja sebagai kepala pemerintahan adalah dari marga Lumamuly. Sebagai Saniri Negeri yang merupakan perangkat adat di dalamnya terdapat ”Marinyo” dari marga Lumamuly, Silaya dan Meute, sedangkan menjabat sebagai Kewang adalah marga Leisila.
Artikel Terkait :
PAPER :
PENGUATAN HAK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI DESA UWEN DAN SEKITARNYA KECAMATAN TANIWEL
|