irwantoshut.com
 
 

 
 

 





FAKTOR-FAKTOR YANG MENGONTROL SIKLUS HARA
PADA HUTAN HUJAN TROPIS

Unsur hara  menjadi masalah yang lebih kritis di daerah tropika, dibandingkan dengan ekosistem di garis lintang yang lebih tinggi. Dalam wilayah tropika, zat hara akan menjadi lebih kritis di dataran rendah yang panas dan lembab. Kekurangan zat hara disebabkan sebagian karena faktor abiotik yang mengikuti pola-pola global dan regional dan sebagian yang lain karena faktor biotik yang secara kuat tergantung pada faktor abiotik.

klasifikasi jenis tanah

Suhu

Faktor penting yang bertanggungjawab atas perbedaan dalam siklus hara antara hutan-hutan tropika dan hutan di garis lintang lainnya adalah suhu. Namun, bukan suhu yang secara ekstrem tinggilah yang mencirikan wilayah tropika. Suhu di wilayah tropika basah yang rendah seringkali lebih rendah dibandingkan suhu musim panas di wilayah-wilayah hangat kontinental. Meskipun demikian, distribusi suhu selama setahun ini yang penting (Walter, 1971). Dalam wilayah dataran rendah tropika, suhu tinggi terjadi sepanjang tahun, dan proses biologis bergantung pada suhu tinggi bisa berlangsung terus menerus jika kelembabannya tidak terbatas.

Suhu tinggi sepanjang tahun memiliki pengaruh penting pada nilai proses ekosistem ketika faktor-faktor lain menghambat. Suhu tinggi yang konstan bisa berarti bahwa musim tanam untuk pertanian tidak pernah berhenti. Musim tanam terus menerus menghasilkan angka produksi yang tinggi, sebagaimana yang akan diperlihatkan nanti, dan konsekuesnsinya dalam angka konsumsi zat makanan oleh tumbuhan yang tinggi pula setiap tahun. Produksi daun terus menerus juga menghasilkan ketersediaan makanan terus menerus bagi herbivora, dan produktifitas sekunder bisa jadi tinggi. Akibatnya, dalam hutan hujan tropika terdapat potensi laju dekomposisi tahunan yang tinggi melalui rantai makanan. Produktifitas tahunan yang tinggi juga berarti angka pengembalian zat hara tahunan yang tinggi ke dalam tanah melalui guguran daun dan melalui kematian dan pembuangan kotoran herbivora dan predatornya.
Zat-zat hara yang dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk sampah disolubilisasikan melalui aksi dekomposer. Karena suhu hangat sepanjang tahun, dataran rendah tropika yang lembab memiliki potensi bagi aktifitas dekomposer terus menerus. Hal ini menghasilkan pelepasan zat-zat hara secara terus menerus dan suatu potensi resultan tinggi untuk pelepasan dan terjadinya siklus kembali. Proses mikrobiologis lainnya yang penting dalam siklus hara, seperti nitrifikasi, juga bergantung suhu dan bisa terjadi sepanjang tahun dalam wilayah tropika yang basah.

Karena suhu sepanjang tahun yang tinggi, proses siklus hara bisa berlangsung sepanjang tahun di wilayah tropika dataran rendah yang lembab, dan angka perputaran zat makanan tahunan bisa lebih tinggi dari mereka yang berada di wilayah-wilayah dimana hawa dingin  atau kering bisa mengganggu proses ini. Wilayah-wilayah terakhir ini bisa terjadi dalam zona tropika seperti halnya di garis lintang yang lebih tinggi. Wilayah tropika yang besar mengalami kekeringan musiman selama beberapa bulan atau lebih lama dan, walaupun wilayah tropika sering dianggap panas terus menerus, terdapat wilayah dataran tinggi dengan garis lintang tropika dimana suhunya kadang-kadang sangat rendah. Di puncak gunung yang paling tinggi seringkali terdapat salju abadi.

Kelembaban dan interaksi suhu

Suhu tinggi sepanjang tahun tidak akan menghasilkan produksi terus menerus dan dekomposisi jika kekeringan tahunan terjadi. Tingkat dimana proses ini melambat bergantung pada berapa lama dan parahnya musim kering. Di banyak wilayah tropika ada musim kering yang tetap, sedangkan di tempat-tempat lain, seperti di bagian barat laut rawa-rawa Amazon dan wilayah Malaysia, musim kering mungkin hanya beberapa minggu ketika curah hujan rata-rata mingguannya menurun. Di wilayah yang sedikitnya mengalami fase hutan basah musiman, produksi terjadi sepanjang tahun. Dimana lama musim kering lebih lama dan sedikit atau tidak tidak ada curah hujan selama periode kering, vegetasi hutan-hutan dan ngarai yang berganti daun setiap tahun terjadi. Selama musim kering sedikit terjadi pertumbuhan. Dekomposisi juga melambat, namun api bisa mengambil alih tempat organisme dekomposer dalam melepaskan zat-zat hara dari sampah pada permukaan tanah.

Di wilayah-wilayah yang hangat, sering terdapat seasonality baik pada suhu maupun curah hujan. Di beberapa wilayah yang hangat, seperti Amerika Serikat sebelah Timur dan Eropa Barat Laut, hujan sering terjadi selama periode suhu tinggi. Namun karena suhu tinggi dan curah hujan tinggi hanya bertepatan selama beberapa bulan dalam setahun, angka produksi tahunan dan dekomposisi tidak setinggi di wilayah tropika yang basah. Di Wilayah lain yang memiliki iklim Mediterania dari musim panas sangat terik dan kering dan musim dingin yang basah, siklus hara memiliki karakteristik yang berbeda. Angka produksi dan dekomposisi rendah karena suhu dan kelembaban tidak optimal pada saat yang bersamaan. Ketika suhu mendukung bagi pertumbuhan dan dekomposisi, kelembaban tidak tersedia.

 

Faktor biotik

Produktifitas primer

‘Produksi bersih’ oleh suatu pertanian individual adalah jumlah zat organik yang tersintesis dan terakumulasi dalam jaringan per unit waktu. Komponen-komponen produksi bersih memasukkan daun-daun, kayu, akar, buah-buahan, dan bunga,  tunas, dan substansi organik  terlepas atau terpancar dari tumbuhan.
Jumlah total produksi bersih dari semua tanaman individu dalam suatu unit area permukaan bumi adalah produktifitas primer bersih. Dalam perbandingan produktifitas primer bersih, dimensi waktu harus dengan hati-hati terspesifikasi. Beberapa studi melaporkan secara harian atau bulanan angka produksi primer bersih selama musim pertumbuhan. Studi-studi lainnya memberikan angka tahunan. Angka tahunan biasanya kurang dari 12 kali angka musim pertumbuhan bulanan di wilayah-wilayah dimana terdapat dormansi musiman berkenaan dengan kekeringan atau hawa dingin.
Tidak ada keterangan ataupun alasan teoritik mengapa angka produksi primer bersih di wilayah tropika seharusnya lebih tinggi daripada wilayah lain, pada basis harian atau bulanan selama musim pertumbuhan. Whitmore(1975) mengomentari miskonsepsi populer bahwa angka asimilasi bersih tinggi di wilayah tropika sebagai berikut:

Oleh karena itu bisa kita perhatikan bahwa kemewahan dan penampilan pertumbuhan yang tak terkendali yang ada di vegetasi wilayah tropika lembab tidak meningkat dari angka pertumbuhan yang secara intrinsik lebih tinggi daripada yang ada diantara spesies-spesies hangat. Bentuk-bentuk kehidupan yang tidak familier dari palem, pandan, dan tumbuhan monokotil raksasa dari scitamineae (jahe, pisang, dan sekutu-sekutunya), dan berlimpahnya pemanjat menciptakan suatu kesan jelas dari ‘keriuhan vegetatif’ pada ahli botani yang dididik dalam suatu iklim hangat. Penampakan pertumbuhan cepat  dari pohon-pohon pionir dari pinggiran hutan dan clearing-nya, yang membentuk bagian kesan lain, tidak menghasilkan, sejauh yang kami ketahui, suatu produksi berat kering efisien secara partikuler atau konversi energi namun muncul dari arsitektur pohon yang menghasilkan kapasitas bagi pemanjangan internoda yang tak terbatas dan produksi daun dalam iklim yang secara terus menerus mendukungnya.

Walaupun angka produksi primer dalam wilayah tropika lembab tidak kelihatan lebih besar daripada mereka yang berada di garis lintang yang lebih tinggi pada suatu basis harian selama musim pertumbuhan, perbandingan produksi utama bersih pada suatu basis tahunan bisa memperlihatkan suatu tren yang berbeda-beda. Karena musim pertumbuhan tropika lembab secara relatif lama, ada potensi bagi produksi tahunan yang lebih besar, karena ada lebih banyak hari dimana fotosintesis bisa terjadi.

Tabel 1. memperlihatkan produktifitas tahunan bersih untuk tipe ekosistem teresterial utama dunia. Data dengan jelas memperlihatkan bahwa rata-rata hutan  tropika basah merupakan ekosistem terestrial paling produktif di dunia. Namun ada beberapa hutan hangat dan bahkan beberapa hutan boreal yang memiliki angka produksi primer lebih tinggi daripada beberapa hutan tropika. Hal ini berkenaan dengan kurangnya penyelesaian yang baik dalam sebagian besar skema klasifikasi seperti yang terdapat di tabel 1. misalnya, klasifikasi hutan tropika basah  sering memasukkan hutan panas kerdil dan hutan montana, seperti halnya hutan lumut dan hutan rawa-rawa, yang semuanya kurang produktif dibandingkan tempat-tempat sedang yang berdrainase baik.

Nilai dalam tabel 1 mungkin memandang sebelah mata  produktifitas primer bersih ekosisrem karena beberapa komponen produksi secara ekstrem sulit diukur. Misalnya dalam beberapa ekosistem mungkin terdapat suatu pergantian penanggalan akar-akar yang baik di akhir musim pertumbuhan. Data tentang produksi dan hilangnya akar yang baik biasanya tidak tersedia. Produksi jamur mikoriza, yang menyediakan zat-zat makanan bagi akar dan menerima karbohidrat dari mereka, adalah komponen lain yang bisa jadi signifikan(Odum dan Biever, 1984) namun jarang diukur.

Tabel 1. Produksi Primer Bersih Dari Ekosistem-Ekosistem Di Dunia

Range Normal

Produksi Primer Bersih (Bahan Kering)

Rata-rata(dari semua studi)/g/m2a

g/m2a

Hutan Hujan Tropika

1000 -3500

2200

Hutan Tropika Musim

1000 – 2500

1600

Hutan Temperate
Selalu Hijau
Menggugurkan Daun

 

600- 2500
600 – 2500

 

1300
1200

Hutan Boreal

400 – 2000

800

Semak Belukar

250 -1200

700

Savanna

200 – 2000

900

Padang Rumput Temperate

200 – 1500

600

Tundra dan Alpina

10 -400

140

Padang Gurun dan Belukar Semi gurun

10 – 250

90

Padang Gurun Ekstrem- Karang, Pasir dan Es

0 – 10

3

Dengan kata lain, nilai dalam tabel di atas mungkin berlebihan terkait dengan bias dalam seleksi hutan yang dipelajari pada mereka yang secara relatif besar dalam biomassa dan tinggi dalam produktifitas. Perbandingan dalam tabel tersebut juga bisa dikacaukan oleh inklusi data baik dari hutan dewasa maupun hutan suksesional karena hutan suksesional kadang-kadang dipercaya memiliki angka pertumbuhan yang lebih besar daripada hutan dewasa. Tentu saja angka pertumbuhan pohon individual menurun seiring dengan dewasanya pohon tersebut, namun pohon dewasa mati dan digantikan pohon yang lebih muda, pohon yang tumbuh lebih cepat. Gagasan bahwa pohon muda lebih produktif daripada pohon dewasa mungkin muncul dalam bagian studi plantasi lama, dimana kelebatan tajuk sesungguhnya menghasilkan suatu penurunan produktifitas keseluruhan hutan. Namun heterogenitas hutan yang terjadi secara alamiah mungkin mencegah stagnasi semacam itu. Alasan lain mempercayai bahwa hutan primer dewasa kurang produktif daripada hutan yang meregenerasi dari spesies sekunder adalah bahwa ukuran pertumbuhannya sering dalam rumus volume atau basal area daripada dalam rumus biomassa (Jordan dan Farnworth, 1980). Kepejalan kayu spesies hutan primer mungkin dua atau tiga kali lebih besar daripada spesies sekunder dan oleh karena itu mungkin mengkompensasikan kenaikan volume yang lebih kecil.

Pemeliharaan harus dilakukan bukan untuk membingungkan kenaikan tahunan bersih dari sebuah hutan dengan produktifitas utama bersih. Sebuah hutan suksesional bisa memperlihatkan suatu kenaikan tahunan besar dalam biomassa dan sebuah hutan dewasa tidak memiliki kenaikan biomassa tahunan, namun keduanya bisa memiliki produktifitas primer bersih yang sama. Alasannya adalah bahwa sebagian besar produksi hutan suksesional terakumulasi sebagai stok biomassa yang tersedia, sedangkan banyak produksi hutan dewasa dengan cepat melewati dekomposer.

Produktifitas primer bersih dalam tabel 1 merupakan produktifitas ekosistem natural tanpa subsidi seperti pemupukan atau irigasi. Produksi jangka pendek bisa menjadi lebih tinggi daripada nilai dalam tabel 1 ketika zat-zat makanan atau air ditambahkan. Karena subsidi semacam pupuk dan air itu digunakan secara tak teratur pada suatu skala global, ahli ekologi lebih memilih menggunakan pola-pola produktifitas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Walaupun total produktifitas primer bersih seringkali lebih tinggi dalam hutan-hutan tropikadaripada dalam hutan boreal hangat , angka yang lebih tinggi kelihataan hampir seluruhnya jadi berkenaan dengan produksi daun yang lebih besar. Produksi kayu secara signifikan tidak berbeda sepanjang suatu gradien dari garis lintang yang tinggi sampai wilayah tropika dalam dataran rendah mesic atau montana yang lebih rendah dengan keterlambatan suksesional atau hutan-hutan kayu keras dewasa.  Kelihatan bahwa secara relatif dalam wilayah tropika lebih banyak fotosintesis yang diproduksi oleh pohon yang dialokasikan pada daun, sedangkan pada garis lintang yang lebih tinggi, secara relatif fotosintesis dialokasikan pada kayunya. Alasan pola produktifitas ini tidak jelas, namun karena tanaman dengan struktur besar bisa mengintersepsi lebih banyak cahaya, produksi kayu yang tinggi relatif pada produksi daun bisa menjadi keuntungan adaptif dalam wilayah yang tinggi dimana cahaya terbatas atau memang dibatasi. Jumlah ketersediaan cahaya tahunan mungkin kritis selama periode tersier akhir pada garis daerah lintang yang lebih tinggi berkaitan dengan pemendekan musim pertumbuhan(Jordan dan Murphy, 1978) yang dihasilkan dari rendahnya suhu secara luas selama periode ini, dan penjelasannya telah diringkaskan oleh Wolfe(1978).

Dekomposisi

Sampah yang berasal dari daun dan  kayu yang mencapai lantai hutan membusuk dan secara bertahap menjadi terinkorporasi ke dalam horison atas tanah mineral melalui aktifitas organisme tanah. Zat-zat organik pada permukaan tanah dan tercampur dengan tanah mineral adalah reservoir penyimpanan besar untuk nitrogen dan belerang tanah, dan ini juga merupakan suatu reservoir penting untuk fosfor, kalsium, potasium, magnesium, dan zat-zat makanan lainnya. Pelepasan zat-zat makanan dari zat organik yang membusuk dalam tanah adalah suatu tahap kritis dalam fungsi ekosistem. Jka zat-zat makanan dilepaskan terlalu cepat, mereka bisa hilang melalui pelepasan tanah atau volatilisasi. Sebaliknya, jika dekomposisi berlangsung sangat lambat, zat-zat makanan yang tidak mencukupi dibuat tersedia pada tumbuhan, dengan akibat bahwa pertumbuhan pohon bisa terhambat.

 

Laju dekomposisi

Ada beberapa pendekatan umum untuk mengukur Laju dekomposisi zat organik. Salah satunya melibatkan laju respirasi melalui pengukuran nilai dimana karbon dioksida meningkat dari zat-zat yang membus k(Medina dan Zelwer, 1972). Suatu masalah besar dengan metode ini adalah kesulitan dalam pemisahan dekomposisi mikrobial dari respirasi akar(Singh dan Gupta, 1977; Medina et.al, 1980). Pendekatan lain secara sederhana mengukur hilangnya zat-zat yang membusuk. Ada banyak permasalahan dengan pendekatan ini pula(Swift et.al., 1979), namun telah banyak studi tipe ini dan perbandingan-perbandingannya bisa menghasilkan beberapa pandangan.

Hasil studi hilangnya berat sampah biasanya dilaporkan dalam rumus konstanta dekomposisi eksponensial, k. Rumus ini terkait dengan ketidaktampakan bahan organik  oleh persamaan

X/X0 = e-kt                                                               (1)

Dimana X0 adalah jumlah sampah awal, X adalah jumlah sampah yang tersisa, e adalah dasar logaritma alamiah, dan t adalah waktu antara X dan X0( derivasi ini diberikan oleh Olson, 1963.). Sampah bisa terdiri hanya atas sampah daun, atau ia memasukkan bahan kayu, dan sangat perlulah kiranya menspesifikasikan pemisahan ukuran karena sampah kayu membusuk lebih lama.

Waktu yang dipersyaratkan untuk suatu proporsi tertentu dari sampah untuk membusuk bisa dihitung dari persamaan(1). Misalnya jika ingin mengetahui lamanya waktu untuk setengah stok sampah asli yang membusuk, X terbagi setengah menjadi X0, dan persamaan untuk t diperoleh.
Dalam sebuah ekosistem dimana laju luruhan sampah dan dekomposisinya kira-kira setara, dan oleh karena itu stok sampah dalam keadaan siap rata-rata, k terkait pada stok sampah yang ada(X) dan angka luruhan sampah(L) dengan persamaan

k = L/X(Olson, 1963).                                            (2)

Dalam keadaan yang tetap, luruhan smpah setara dengan kehilangan dekomposisi, dan stok sampah terkait dengan dekomposisi oleh k.
Suatu kekurangan utama penggunaan nilai k untuk mengungkapkan angka dekomposisi adalah bahwa ia mengusulkan angka pada mana selembar sampah partikuler membusuk  adalah konstant dari waktu tumpukan sampah di atas tanah sampai waktu molekul organik terakhir terrespirasi. Kenyataannya, laju dekomposisi bisa berubah secara signifikan tergantung pada musim selama setahun, sifat kimia zat-zat yang tetap tidak terurai, dan faktor lainnya. Meskipun demikain nilai k sering digunakan untuk membandingkan laju dekomposisi.

Perbandingan k pada skala global oleh Olson(1963), seperti studi lapangan yang dilakukan oleh Jenny dan teman-temannya serta Madge, mengusulkan bahwa laju dekomposisi dalam suatu hutan tropika lebih tinggi daripada mereka yang berada di garis lintang lebih tinggi. Gagasan ini telah dipegang secara luas selama beberapa dekade, namun Anderson dan teman-temannya akhir-akhir ini menantang kesimpulan bahwa angka dekomposisi sampah lebih tinggi di hutan tropika. Mereka menyajikan serangkaian nilai k untuk sampah daun dari berbagai habitat dan menyimpulkan bahwa variasi dalam suatu wilayah tunggal adalah amat besar untuk mengijinkan pernyataan tentang perbedaan antara wilayah tropika dan garis lintang yang hangat.

Sementara benar bahwa cakupan nilai k mereka dalam suatu wilayah lebih besar untuk memperlihatkan secara statistik perbedaan-perbedaan signifikan antar wilayahnya, meskipun demikian, masih terdapat alasan untuk mempercayai bahwa laju dekomposisi lebih tinggi dalam hutan tropika basah. Marilah pertama kali kita mempertimbangkan angka luruhan sampah dari Jordan(1983). Ketika terdapat permasalahan yang berkaitan dengan ukuran luruhan sampah, terdapat lebih sedikit masalah daripada dengan ukuran dekomposisi. Jika diterima bahwa angka luruhan sampah daun dalam hutan tropika basah lebih tinggi daripada hutan-hutan di wilayah lain, maka angka dekomposisi, dalam gram karbondioksida yang dilepaskan per unit area per unit waktu, harus lebih tinggi dalam wilayah tropika, oleh karena itu akan terdapat suatu  bild-up lapisan yang kecil.

Jumlah sampah, X, bisa memperumit perbandingan k. Ketika laju dekomposisi diungkapkan dalam rumus k, nilai-nilai yang serupa dalam wilayah berbeda bisa terjadi walaupun perbedaan nilai penurunan dan dekomposisi sampahnya kecil. Misalnya, jika jatuhnya sampah(L, persamaan 2) dalam hutan tropika dua kali lipat dibanding wilayah hangat, namun stok sampah yang ada juga dua kali lipat, konstanta dekomposisi k akan sama dalam kedua wilayah(persamaan 2), walaupun angka absolut dekomposisi lebih tinggi di hutan tropika. Namun umumnya dalam stok sampah mungkin tidak lebih tinggi dalam wilayah tropika. Data ekstensif yang dikumpulkan oleh Zinke dan kawan-kawannya tentang karbon organik tanah mengusulkan bahwa rata-rata stok zat organik tanah lebih rendah di wilayah tropika dibandingkan dengan garis lintang yang lebih tinggi, di bawah aturan kelembaban yang bisa diperbandingkan. Maka pengukuran stok zat organik tanah dan runtuhan sampah daun, yang lebih mudah diukur daripada ketidaktampakan sampah, keduanya mengusulkan bahwa dekomposisi mengikuti trend-trend yang diusulkan oleh pola kelembaban dan suhu global; yaitu, bahwa angka tahunannya paling tinggi di hutan tropika yang lembab terus menerus.

Salah satu alasan bahwa banyak studi tentang dekomposisi tropika secara relatif memperlihatkan nilai rendah dari k adalah bahwa daun-daun hutan tropika sering sangat schlerophyllous. Daun schlerophyllous yaitu daun keras dan memiliki rasio area berat yang rendah, yang secara relatis tahan membusuk, sedikitnya selama tahap dekomposisi pertama. Jenny et.al (1949) yang menyimpulkan bahwa dekomposisi lebih tinggi di wilayah tropika, menggunakan tipe daun yang sama baik dalam tempat studi wilayah hangat maupun wilayah tropika, oleh karena itu mengeliminasi pengaruh tipe substrat pada pengukuran laju dekomposisi.

Sementara keterangan untuk nilai tahunan dekomposisi lebih tinggi dalam hutan tropika mungkin tetap inkonkulsif, kurangnya trend statistik kuat mungkin lebih berkaitan pada kesulitan pengukuran langsung dekomposisi daripada kekurangan pola-pola dunia.

Perjalanan Hara

            Perjalanan hara melalui sistem tanah adalah kompleks, dan kekurangan hara atau daur ulang tergantung pada tingkatan luas  pada dinamika hara sepanjang perjalanan ini (Coleman, 1976; Coleman et al, 1983). Hara dilepaskan dari pembusukan daun-daun dan kayu dan juga dari bangkai hewan biasanya tidak berpindah langsung ke tanah atau ke akar pohon, melainkan melewati seluruh rangkaian siklus pada skala yang lebih kecil bersama bahan organik dari tanah ini. Sama dengan pilinan yang terjadi pada aliran ekosistem (Webster dan Patten, 1979; Newbold et al., 1982). Dalam kasus dekomposisi daun, siklus ini sering terjadi dengan arthropoda tanah yang merupakan dekomposer daun. Partikel-partikel yang dihancurkan menumpang melalui sistem pencernaannya, senyawa organik kompleks dirubah menjadi senyawa sederhana yang banyak digunakan oleh organisme tanah yang lain. Dekomposisi kayu dan daun juga dapat dimulai dengan invasi jaringan oleh bakteri dan jamur. Mikroorganisme ini dengan cepat melumpuhkan kation dapat larut di dalam jaringan dan mengubah sifat alami substrat, kadang-kadang menyumbang yang lebih bersifat resisten. Substrat yang bersifat resisten sering memungkinkan jamur untuk membentuk koloni. Senyawa yang dikeluarkan oleh hypa jamur melanjutkan pemecahan senyawa organik kompleks pada daun dan kayu, konsntrasi hara pada sampah ditingkatkan lagi dan koloni bakteri sekali lagi dimungkinkan. Suksesi dari dekomposer sangat kompleks, jenis ini banyak jumlahnya, dan hampir setiap kasus berbeda pada setiap detil (Swift et al., 1979).

            Penghancuran sampah relatif dipengaruhi , sebagian, oleh faktor-faktor seperti rasio Karbon: nitrogen, kandungan lignin (Swift et al., 1979). C:N rasio yang rendah (kurang dari 25:1) umunya menunjukkan konsentrasi tinggi dari semua hara dan, konsekwensinya, lingkungan menunjang aktivitasyang tinggi dari bakteri. Ratio Karbon : Nitrogen yang rendah dan kandungan lignin yang rendah membuat sampah, lebih menarik untuk dijadikan sumber makanan oleh pemakan bangkai seperti luing (millipedes), kutu kayu, larva lalat, springtails, tipe-tipe cacing. Hewan-hewan ini mengangkut sisa-sisa makanan melalui sistem pencernaannya, sampah hancur menjadi bagian yang lebih kecil dan proses penghancuran dimungkinkan oleh kelompok yang lain yaitu jamur dan bakteri yang menyerang sampah . Organisme ini pada gilirannya, melanjutkan membuat sampah ini tampak lebih enak untuk sejumlah dekomposer yang lain. Bakteri dan Jamur sendiri mungkin dicerna oleh organisme yang lebih besar.

            Hara dari vegetasi hidup juga masuk dalam siklus dekomposer. Akar-akar dari pohon yang hidup dijadikan makanan oleh nematoda dan larva jangkrik yang hidup di dalam tanah. Pada beberapa ekosistem, rambut akar tumbuh relatif baik sepanjang tahun dan ini mungkin mlewati siklus dekomposer pada cara yang sama sebagai sampah di bawah tanah (Harris et al., 1977).

            Aliran hara umumnya mengikuti aliran energi atau karbon melalui siklus dekomposer. Pengecualian jamur mikoriza yang merupakan bentuk simbiosis dalam hubungannya dengan akar. Mikoriza memperoleh banyak karbohidrat dari akar dan pada gilirannya mereka meningkatkan kapasitas akar untuk menangkap hara (Ruehle dan Marx, 1979).

            Struktur dan fungsi komunitas  akan berbeda pada hampir setiap ekosistem. Contohnya, cacing tanah yang berhubungan dengan mikroflora nampak memainkan peran penting  dalam mencernakan bahan organik dan karakteristik mayornya akan berbeda  pada wilayah global yang berbeda. Perbedaan diberikan oleh sebagian besar sifat alami dari bahan organik tanah (Lavelle, 1983). Pada daerah dingin dekomposisi sampah berlangsung lambat  dan sumber makanan yang berlimpah yang dapat dipercaya menjadi kandungan energi yang tinggi untuk dekomposer. Sampah  terdiri dari  komponen Hydrosoluble organik dan substrat energi yang dapat dirubah menjadi komponen yang sederhana oleh aktivitas mikrobia pada level yang rendah. Hal yang bertolak belakang, cadangan humik tanah meskipun berlimpah, harang dapat diakses, dan relatif sedikit yang dapat dicerna. Aktivitas Mikrobia nampaknya tidak cukup untuk produksi primer dari humus stabil untuk memelihara nutrisi cacing tanah, konskwensinya, pada daerah dingin cacing tanah terdiri dari spesies detritivorous. Pada daerah tropika situasi sangat brbeda. Dekomposisi sampah berlangsung cepat, tidak menyediakan sumber makanan yang berlimpah, dan segera hilang dari kandungan Hydrosoluble, hujan panas, cadangan humik tanah, bagaimanapun, merupakan sumber makanan yang berlimpah. Lavelle (1983)  menunjukkan , sebagai konsekwensi dari semua itu, komunitas cacing tanah tropika sering didominasi oleh spesies geophagous. Perbedaan penting yang lain antara dekomposisi yang terjadi di daerah tropika dan daerah daerah lintang yang lebih tinggi dari rayap pada daerah tropika (Matsumoto, 1976, 1978). Siklus hara di daerah tropika mungkin dipengaruhi oleh rayap yang menyerang jaringan tua dari pohon. Banyak spesies rayap membawa material pada air liur mereka, dimana, itu dihancurkan oleh cendawan (Wood, 1978). Cendawan digunakan sebagai sumber makanan bagi koloni rayap.

 

Keseimbangan antara Produktivitas dan Laju Dekomposisi
 

           Jumlah bahan organik mati dalam tanah merupakan fungsi dari keseimbangan antara produktivitas dan laju dekomposisi . Sebagai gambaran, akan dipertimbangkan  percobaan pada bahan organik yang dipidahkan dari lantai hutan. Karena di sana tidak terdapat bahan organik tanah , di sana ada beberapa dekomposer. Daun-daun dan bahan organik lain jatuh pada plot percobaan yang merupakan akumulasi bersih dari bahan organik karena beberapa dekomposer yang ada tidak dapat mengurai bahan organik secara cepat ketika bahan organik masuk ke dalam plot. Bagaimanapun, bahan oganik yang merupakan penyuplai makanan untuk dekomposer, menjelaskan tentang,  populasi dekomposer meningkat ketika laju dekomposisi sama dengan laju produksi.  Di Hutan hujan Tropika terjadi keseimbangan antara produksi dan dekomposisi.
            Keseimbangan antara produksi dan dekomposisi menghasilkan ketersediaan cadangan bahan organik tanah yang relatif lebih rendah, di bawah kondisi di mana kelembabab dan hara tanah tidak kritis, memiliki suatu implikasi yang penting. Itu berarti ketika hutan hujan tropika ditebang dan sampah yang dihasilkan ke lantai hutan dibatasi, laju dekomposisi bahan organik tidak nampak lebih cepat  dari yang terjadi di daerah lintang yang lebih tinggi. Karena bahan organik merupakan elemen penting dalam menimpan dan menyuplai hara, deforestasi yang terjadi di daerah Tropika memiliki pengaruh yang lebih luas pada suplay hara di bandingkan deforestasi yang terjadi di daerah lintang lebih tinggi.

Herbivora

            Herbivora merupakan faktor biotik lain yang penting  yang mempengaruhi siklus hara  (Seasted dan Crossley, 1984). Bagaimanapun, dalam perbedaan yang mencolok pada produksi dan laju dekomposisi, membandingkan herbivora pada lintang yang berbeda adalah sulit karena ekosistem total dari suatu herbivora jarang dipelajari  dan karena luasnya sering dipelajari pada kondisi buatan (Barnes, 1983).

            Karena temperatur yang tinggi terus menerus dan kelembaban yang tinggi di Tropika basah, hali mungkin menyebabkan antisipasi dari serangga herbivora dengan memiliki aktivitas yang tinggi. Bagaimanapun, sekurang-kurangnya dalam kondisi alamiah terdapat hutan. Sedikit fakta tentang itu, serangga jarang menghabiskan daun pada areal yang luas (Lugo et al., 1974), walaupun pengguguran daun oleh individu pohon sering terjadi (Janzen, 1983).

           Ahli Ekologi memiliki spekulasi bahwa di sana mungkin ada hubungan  antara ketahanan nyata dari Hutan Hujan Tropika untuk pengguguran daun dalam skal yang luas dan keragaman spesies yang tinggi pada komunitas ini (Orians et al., 1974; UNESCO, 1978). Keragaman spesies yang tinggi diartikan sebagai jarak yang luas antara tanaman inang atau kelompok tanaman (Hubbel, 1979). Ketika serangga mulai mencari tambahan sumber makanan mungkin sulit untuk menemukan tanaman inang lain yang memungkinkan. Berdasarkan pemikiran itu , pada skala yang luas pengrusakan oleh herbivora jarang terjadi pada hutan hujan tropika, dari hipotesis itu diversitas yang tinggi pada pohon-pohon tropika disebabkan oleh herbivora. Faktanya herbivora mungkin memainkan peranan penting dalam menyebabkan keragaman tinggi dari pohon hutan hujan ditinjau kembali oleh Gilbert (1980) dan Connel et al.(1984).

            Perbedaan yang menyolok  pada Tropika basah, keragaman spesise tanaman cukup rendah pada derah tropika yang lebih kering.  Pada areal seperti savanna di Afrika, di mana beberapa spesies dari rumput dan semak menutupi areal yang luas, herbivora besar penting sebagai pengatur struktur dan fungsi ekosistem (Sinclair dan Norton-Giffiths, 1979).

            Pada ekosistem pertanian di Tropika Basah, di mana keragaman spesies tidak lebih tinggi di bandingkan hutan alam dan di mana banyak kekurangan tanaman penjaga alami dari spesies liar, panas sepanjang tahun , kondisi kelembaban cukup kondusif untuk perkembangan populasi herbivora secara eksponensial. Konsekwensinya, potensi kerusakan tanaman cukup tinggi di bandingkan daerah yang memiliki musim dingin atau kering menurunkan populasi serangga.

            Kekurangan keragaman spesies dan musim tumbuh sepanjang tahun merupakan alasan bahwa konversi hutan hujan tropika menjadi tanaman monokultur berpotensi membawa malapetaka. Contohnya, pada penanaman Mahoni di daerah Tropika, larva dari pemakan pucuk mahoni ikut serta pada tanaman muda. Hampir tidak mungkin untuk mengembangkan penanaman Mahoni secara luas di mana pemakan pucuk ada, walaupun serangga ini hanya menimbulkan kerusakan kecil pada hutan aslinya (Hodges, 1981). Kekurangan keragaman spesies juga mungkin memberikan kontribusi pada krusakan penanaman pohon oleh kumbang penggerek di Asia Tenggara (Hodges, 1981) dan semut pemotong daun di Amerika Selatan (Fearnside dan Rankin, 1980).

            Walaupun jamur, bakteri dan virus penyebab penyakit berpengaruh pada tanaman inang cukup berbeda dengan herbivora, tanggapan mereka sama pada kondisi dari temperatur tinggi dan kelembaban tinggi sepanjang tahun.

Pengaruh Faktor Biotik pada Pencucian dan Pelapukan

            Fakta yang dimunculkan jauh ini mendukung bahwa temperatur tinggi dan kelembaban tinggi  yang konstan menghasilkan laju dekomposisi yang tinggi. Perubahan ini menghasilkan laju hara  tahunan yang tinggi yang membuat kemungkinan laju produksi primer tahunan yang tinggi yang diamati di Tropika basah. Kondisi lingkungan yang memungkinkan laju siklus hara  tahunan tinggi dan produksi biomassa yang menciptakan potensi untuk laju pencucian dan pelapukan yang tinggi dari tanah tropika.

Pencucian

Berbagai macam hara  di dalam tanah tersimpan pada permukaan lempung dan koloid bahan organik  (humus) (Brady, 1974). Permukaan tanah ini bermuatan negatif. ion yang bermuatan positif seperti K+, Ca ++ dan NH4+ mengikat permukaan negatif tersebut. Kemampuan tanah untuk menerima kation pada permukaan lempung dan partikel humus dinamakan kapasitas pertukaran kation (KPK). Tanah dengan kandungan lempung tinggi atau organik tinggi kebanyakan mempunyai KPK yang tinggi. tatapi jenis-jenis mineral lempung yang ada juga sangat penting pengaruhnya. Tingginya pelapukan mineral lempung seperti kaolinit yang banyak di jenis tanah geologi tua di tropika seperti di DAS Amazon, mempunyai KPK relatif rendah (Sanchez, 1976)

Hara yang mempunyai kandungan ion bermuatan positif dapat tertukar pada permukaan lempung oleh ion hidogen. Ion hidrogen yang tersedia di tanah tropika sangat tinggi karena asam karbonat (H2CO3) secara terus menerus diproduksi melalui respirasi dari mikroorganisme tanah dan akar-akaran. Respirasi dekomposer ditambah dengan respirasi akar dinamakan respirasi tanah. Ketika tanah dalam keadaaan basah CO2 dari respirasi tanah direaksikan dengan air menjadi bentuk asam karbonat (H2CO3) dan terpecah menjadi bikarbonat (HCO3-) dan muatan H+.

 

CO2 + H2O  siklus hara       H2CO3

H2CO3   siklus hara            H+ + HCO3-

Ion Hidrogen dapat menganti kation hara pada koloida tanah. reaksi bikarbonat dengan membebaskan kation dari koloida dan hasil-hasil pencucian bergerak kebawah menembus profil tanah. kation yang tercuci tersebut sebenarnya tersaring pada horizon tanah hal ini tergantung pada karakteristik dari sub soil. (Cole et al, 1975)

Dengan demikian air, pada umumnya merupakan agen utama pelapukan kimia (Bowen, 1979). Keasaman air merupakan rata-rata pengatur proses pencucian dan pelapukan. (Johnson et a, 1975, 1982b)

Transformasi nitrogen juga merupakan sumber Nitrogren, selama dekomposisi bahan organik seperti seresah daun pada lantai hutan, bentuk nitrogen organik dikonversi menjadi ammonium (NH4+) yang dapat langsung diambil oleh tanaman atau dikonversi menjadi nitrat (NO3-) melalui proses nitifikasi. ketika ammonium diambil oleh tanaman, ion hidrogen dilepaskan untuk menjaga agar tetap netral (Nilsson et al 1982) hidrogen juga dilepaskan selama proses nitrifikassi.

2NH4+ + 3O2  siklus hara    4 H+ + 2 H2O + 2NO2-

2NO2- + O2    siklus hara   2NO3- 


Hidrogen yang dilepaskan dalam proses ini dapat menggantikan kation hara pada permukaan tanah tertukar dan ion nitrat yang ada untuk bereaksi dengan kation. Pelepasan hidrogen ke dalam tanah sebagai akibat dari aktivitas reaksi biologi dengan lempung silikat yang melepaskan aluminium dalam kondisi tertukar. (Sanchez 1976). karena aluminium jumlahnya berlebihan pada berbagai tanah di tropika, aluminium kemudian hidrogen merupakan kation dominan yang berhubungan dengan keasaman tanah di kawasan ini (Coleman dan Thomas, 1967).

Proses lain yang dapat menjadi sumber ion dimana memberikan sumbangan pada pencucian hara. Sulfat dapat diterima dalam ekosistem baik dalam kondisi musim hujan ataupun kemarau (Johnson et al 1982a). sulfat mungkin dibentuk di dalam tanah dari campuran sulfur berbentuk gas oleh aktivitas mikrobiologi (Ivanov,1981). Asam organik dari dekomposisi daun dan seresah kayu juga berperan dalam keasaman tanah (Johnson et al 1982b). asam ini penting dalam proses pencucian pada saat terbawa masuk ke dalam tanah mineral oleh proses penyaringan air (Binkley et al., 1982).

Berbagai macam anion sebagai agen pencucian relatif penting yang dapat berubah sesuai fungsi dari latitude, altitude atau sifat alamiah dari batuan dasarnya (Johnson et al 1975). Seringkali, asam karbonik merupakan hal yang penting di kawasan tropika karena perputaran respirasi tanah sepanjang tahun mengakibatkan tingginya produksi CO2. Arti penting dari asam karbonik di hutan tropika basah dapat dilihat dari perbandingan anion bikarbonat dengan anion yang lain. bikarbonat mempunyai berat volume yang rendah dikawasan non tropika. Total potensial pencucian kation setiap tahun, konsentrasi anion menjadi beberapa kali besarnya oleh besarnya penyaringan air melewati unit area lantai hutan pertahun. Walaupun besarnya penyaringan tahunan masing-masing site tidak diketahui. Rata-rata curah hujan di hutan hujan, temperate, alpine, dan daerah taiga sebesar 430, 136, 270 dan 270 cm/tahun (Johnson et al1977).

Arti nitrat sebagai agen potensial pencucian relatif rendah. mungkin karena rendahnya nitrifikasi di hutan yang stabil, namun ketika hutan rusak menyebakan kerusakan mekanisme hutan, nitrat menjadi relatif penting pada proses pencucian  dan mungkin berperan besar pada aliran kation yang biasa nampak setelah penebangan. Asam organik menjadi kurang penting pada proses pencucian di daerah hutan tropika dari pada di hutan-hutan pada lintang yang lebih tinggi (latitude), mungkin karena kecepatan dekomposisi pada lingkungan panas dan basah. Ketersediaan ion hidrogen di tanah kawasan tropika basah mengakibatkan tingginya potensial pencucian kation hara. kemampun penyediaan hidrogen yang tinggi juga diikuti larutan pospor yang bereaksi dengan besi, aluminium dan magnesium menjadi bentuk campuran yang tidak larut. Campuran ini tidak tersediakan oleh tanaman akibatnya kekurangan posporus menjadi umum di system pertanian tropika. Titik berat dari bagian ini karena kondisi panas dan basah bergantian sepanjang tahun di hutan hujan tropika memberikan potensi dalam menyumbangkan pencucian kation hara dan imobolisasi pospor hampir berjalan secara terus-menerus.

Pelapukan

Suhu dan kelembaban yang konstan juga memberikan potensi yang tinggi terhadap rata-rata pelapukan tiap tahun. Terjadinya pelapukan ketika hidrogen di dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral tanah atau batuan dasar yang mengakibatkan pergerakan elemen hara. Sebagai contoh feldspar di dalam aluminusilikat (campuran alumunium dan silikat) berisi hara seperti; sodium, kalium, dan kalsium. Ketika ini terhidrolisis hara terlepas dari aluminusilikat. hara yang terlarut dapat diserap oleh koloidal tanah dan digunakan oleh tanaman atau hilang mengikuti aliran air. kecepatan reaksi tergantung dari suhu, proses pelapukan menjadi lebih cepat pada kawasan tropika dataran rendah daripada daerah yang mempunyai garis lintang yang lebih tinggi. kejadian umum dari transformasi mineral dan hilangnya elemen hara selama pelapukan. semakin lama pelapukan maka proporsi elemen hara dalam mineral semakin berkurang. mineral-mineral lempung yang mengalami pelapukan lebih tinggi seperti kaolinit hanya berisi silika, alumunium, hidrogen dan oksigen. pelapukan dan pencucian secara terus-menerus dari kaolinit mengakibatkan pergerakan silika meninggalkan oksida-oksidanya atau Fe dan Al di horizon tanah bagian atas, hal ini dapat membentuk formasi padas atau lapisan impermeabel dari laterit ketika Fe dan Al302 lepas ke udara dan menguap. Beberapa tahun ini rata-rata peningkatan kerusakan hutan tropika sangat mengkhawatirkan sehingga terbentuk lapisan tanah yang keras atau tanah merah setelah penebangan. Ini adalah bukti kecil namun pembentukan laterit adalah masalah utama di tanah tropikal basah. Penanaman jari di Para Brazil di sebelah timur DAS Amazon  merupakan kawasan luas dari oxisol dan ultisol. Pembukaan karena adanya tebang habis dan musim kering yang tegas dikawasan ini, laterit menjadi mungkin berkembang pada daerah permukaan tanah. Namun demikian setelah hutan primer ditebang, tanah ditutupi dengan penanaman atau suksesi secara alamiah akan mencegah pembentukan laterit. Kenyataannya laterit digunakan untuk pembentukan landasan terbang dikawasan Amazon.

Pelapukan di kawasan tropika mempunyai kecepatan yang tinggi daripada di daerah dengan lintang yang lebih tinggi (latitude). hal ini umunya karena perbedaan jenis mineral lempungnya (Millot, 1979) di daerah lintang yang tinggi karena didominasi oleh mineral seperti illit dan klorit maka relatif tidak terlapukkan. di daerah temperate umunya adalah vermikullit, di mediterania dan  tropika musim adalah mineral montmorillonit (smectit) yang sering terjadi pelapukan. di daerah tropika basah kaolinit dan gibbsite merupakan mineral yang mempunyai pelapukan tinggi.

Daerah lintang yang lebih tinggi mempunyai pelapukan yang lebih rendah dari pada di daerah tropika basah tetapi ada perkecualiannya sebagai contoh data dari Melfi et al 1983, di daerah Savanna semi arid  di kawasan Brasil dimana adanya keadaan kering dan dingin terjadi proses pelapukan kimia. perkecualian juga terjadi di kawasan pegunungan dimana erosi secara terbuka menyebabkan tidak adanya pelapukan di batuan dasar.

Tingginya pelapukan di daerah tropika karena panas dan basah di hutan dataran rendah secara terus menerus sepanjang tahun dan tidak adanya pengangkatan dari batuan dasar sepanjang periode waktu geologi. Di Amazon Tengah proses pelapukan yang terjadi telah mengubah mineral lempung dalam waktu ratusan juta tahun atau lebih (Kronberg et al 1982). Terutama mineral Karts, kaolinit, gibbsite, gutit dan hematite. bentuk ini adalah hasil akhir dari pelapukan mineral.
Karena proses pencucian dan pelapukan sepanjang tahun di tropika dataran rendah menyebabkan miskinnya nutrisi hara pada tanah oxixol dan ultisol. Di tropika basah 63 % masuk dalam kategori ini, di tropika basah amerika 82 % masuk ketgori  tanah ini dan di DAS Amazon hanya 6 % tanah yang tidak terbatas hara utamanya.

Perbandingan keseimbangan hara

Hal utama yang diperhatikan adalah adanya aktivitas biologi yang secara terus menerus, tingginya potensi kecepatan  pencucian mineral dan pelapukan mineral yang berjalan di tropika basah, namun demikian pada ekosistem yang stabil/seimbang pelapukan yang tinggi tidak diikuti oleh pencucian yang tinggi. Tabel 2 manggambarkan kecepatan hilangnya kalsium untuk 18 ekosistem di dunia, kehilangan kalsium melalui run off dan potensial kehilangan hara ekosistem 1-4. ekosistem 17-18 kehilangan kalsium relatif rendah. pada ekosistem 17 dan 18 kemungkinan bagian yang hilang karena pencucian digantikan oleh kecepatan pelapukan dan pelepasan kalsium di lapisan sub soil.

Input hara dari atmosfer juga mengantikan hara yang hilang pada ekosistem. Hara masuk dari atmosfer larut ke dalam air hujan atau sebgai aerosol yang di atmosfer sebagai awan. Partikel aerosol aslinya berasal dari bermacam-macam sumber, garam dari lautan, tanah kering (debu), abu vulkanik, materi organik seperti tepungsari dan spora, jelaga dan asap industri.

Perbedaan antara input hara atmosfer dan kehilangan karena run off memberikan perubahan jaringan stok hara selama proses pengukuran (Tabel 2, kolom A–R). Pada ekosistem dengan kecepatan run off total tinggi (17-18), maka total kehilangannya hanya sebagian kecil dari input atmosfer sedangkan kecepatan yang hilang masih relatif tinggi. Beberapa ekosisten hutan hujan dataran rendah yang mempunyai kecepatan run off total rendah biasanya menunjukkan jaringan kehilangan yang sangat kecil.

Tabel 2. run off (R), input dari atmosfer, perbedaan (A-R) untuk kalsium
diberbagai susunan ekosistem dengan meningkatnya run off kalsium.

No

Formasi atau Assosiasi dan lokasi

Run off (R)

Input (A)

A-R

Author

1

Hutan hujan tropika Malaysia

2.1

14.0

+11.9

Kenworth,1971

2

Hutan Hujan Amazon, Brazil pada tanah Spodosol

2.8

16.0

+13.2

Herrera 1979

3

Hutan Hijau, Pantai Gading

3.8

1.9

-1.9

Bernhard 1975

4

Hutan hujan, oxixol DAS Amazone

3.9

11.6

+7.7

Jordan 1982

5

Hutan Pinus, Karolina Utara

4.1

6.5

+2.4

Swank 1977

6

Hutan Douglas fir, Washington

4.5

2.8

-1.7

Cole et al, 1967

7

Hutan Konifer, Minesota Utara

4.5

3.1

-1.4

Wright, 1976

8

Hutan Konifer campuran, New Mexico

4.9

7.6

+2.7

Gosz, 1975

9

Hardwood forest, Karolina Utara

6.9

6.2

-0.7

Swank 1977

10

Oak pine forest, Long island

9.7

3.3

-6.4

Woodwell 1975

11

Hutan pantai di sandstone, Jerman

12.7

12.8

+0.1

Henrich dan Meyer 1977

12

Spruce forest di sandstone Jerman

13.5

12.8

-0.7

Henrich dan Meyer 1977

13

Northern hardwood forest, new Hampshire

13.9

2.2

-11.7

Likens et al 1977

14

Hutan Hujan Tropika, New Guinea

24.8

0

-24.8

Turvey 1974

15

Aspen forest, Michigan

19.4-38.8

8.3

-11.1 - -30.5

Richardson 1975

16

Hutan mesophytic campuran, Tennesee

27.4

10.5

-16.9

Shugard et al 1976

17

Hutan Hujan Tropika pegunungan, Puerto Rico

43.1

21.8

-21.3

Jordan et al 1972

18

Hutan Tropika Lembab, Panama

163.2

29.3

-133.9

Golley et al 1975


 

Sumber Pustaka :
Jordan C. F, 1985. Nutrient Cycling in Tropical Forest Ecosystems Principles and Their Application in Management and Conservation, John Wiley & Sons, Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore

Artikel Terkait :

  1. Definisi dan Pengertian Tanah
  2. Proses Pembentukan Tanah
  3. Pencemaran Tanah
  4. Manfaat Tanah
  5. Unsur Hara Nitrogen (N)
  6. Unsur Hara Fosfor (P)
  7. Unsur Hara Kalium (K)
  8. Bahan Organik Tanah
  9. Kemasaman Tanah (pH Tanah)
  10. Lengas Tanah
  11. Tekstur dan Struktur Tanah
  12. Pemupukan Tanaman

 

 

HOME
PENELITIAN
PAPER / ARTIKEL
KULIAH KEHUTANAN
PERJALANAN
DIARY
GALERI PHOTO
INFO SEPUTAR HUTAN
PROSIDING NFP
KESEHATAN TUBUH
KOTA AMBON
UNIVERSITAS PATTIMURA
TIPS MAHASISWA
BIODATA IRWANTO
PHOTO PRIBADI
FACEBOOK IRWANTO
 
 

 

Irwanto Forester

Create Your Badge