Peneliti bidang ekologi dari LIPI Dr Herwint Simbolon. kepada SP saat workshop Wild Fire Management in Peat Forest in Central Kalimantan di Jakarta, Kamis (5/3) mengatakan, kegagalan itu disebabkan rumitnya sistem perdagangan karbon lewat jalur CDM. Kerumitan itu, misalnya, dalam hal kriteria. Suatu lahan yang sudah ditanami kembali, perlu dipantau agar penyerapan dan pelepasan karbon di lahan tersebut dalam kondisi yang baik dalam beberapa tahun kemudian.
Seperti diketahui, jalur CDM memperhitungkan perdagangan karbon melalui penanaman kembali lahan yang rusak. Emisi karbon yang bisa dikendalikan dengan penanaman itu dikonversikan dengan nilai/harga karbon secara global. Sektor yang bertanggung jawab di bidang penanaman kembali atau penghijauan ini adalah Departemen Kehutanan. "Harnpir tidak ada penghijauan, karena kriteria yang dipakai berat, juga kesulitan dalam lokasi dan manajemennya," ujar Simbolon.
Sekalipun sulit diterapkan di Indonesia, negara lain yang memperoleh manfaat dari CDM, antara lain Filipina dan Brasil. Kini, lewat jalur REDD, diharapkan Indonesia memperoleh manfaat. REDD merupakan upaya pemeliharaan terhadap hutan di suatu negara untuk mengurangi emisi karbon. Pemeliharaan ini juga diperhitungkan dalam perdagangan karbon, dan sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim di Bali; diharapkan REDD bisa dilaksanakan tahun 2012.
Terkait dengan persiapan itu, kata Simbolon, Indonesia bekerja sama dengan Jepang dan Australia. Dari kerja sama itu, Indonesia diharapkan bisa melakukan pernantauan dan penghitungan karbon dari tahun ke tahun. Di samping itu, permasalahan yang belum bisa diselesaikan terkait dengan REDD adalah pihak atau institusi mana yang akan menerima keuntungan dari upaya pemeliharaan lahan.
" Apakah pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau perorangan yang menerima manfaat tersebut. dan besaran yang diterima juga belum ditentukan," kata Simbolon.
LAHAN GAMBUT
Pada tahun 1997/1998 Indonesia merupakan emiter karbon ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Tiongkok. Hal ini antara lain disebabkan kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah akibat kanalisasi dalam proyek pembukaan lahan gambut satu juta hektare pada tahun 1995-1996. Lahan yang mengandung air itu diubah untuk menjadi sawah agar dapat ditanami padi, caranya dengan mengeringkan lahan gambut melalui pembangunan kanal ganda sepanjang 4.000 kilo meter. Penanaman padi ini merupakan bagian dari upaya pemerintah Orde Baru untuk swasembada beras. Kanal memiliki lebar 25 meter dengan kedalaman 7 meter. Kini walau proyek itu sudah terhenti, tetapi kanal tersebut masih ada.
Dampak dari kanalisasi itu, ujar Simbolon, membuat emisi gas lebih besar dan akhirnya tahun 1997 terjadi kebakaran lahan gambut. Kanalisasi membuat karbon yang dilepas ke atmosfer lebih banyak dan berakibat pada efek gas rumah kaca berupa pemanasan global.
|
Menurut Sekretaris Daerah Kalimantan Tengah Thampunah Sinseng, luas lahan gambut di Kalimantan Tengah 3 juta hektar, yang meliputi Kapuas, Pulang Pisau, Katingan, Seruyan, dan Kotawaringin Timur. "Bila tidak ada kebakaran lahan gambut, Indonesia berada di peringkat 21 dalam emiter karbon: Pembukaan lahan gambut membuat akumulasi emisi karbon besar, diperkirakan sampai jutaan karbon dioksida," kata Thampunah.
Mengutip kajian perubahan iklim yang dilakukan Michael Stern, tanpa upaya yang signifikan selama tahun 2008 hingga 2012, jumlah emisi karbon akibat penebangan hutan akan berlipat ganda, dari 18 juta ton menjadi sekitar 40 juta ton. Jumlah ini juga meningkatkan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer sebesar 2 ppm dan berdampak besar pada perubahan iklim.
Sumber : Suara Pembaruan
Jumat 6 Maret 2009 |
|