|
|
---|
Arti penting pelestarian sumberdaya genetik menjadi sangat jelas dan tidak dapat dibantah kebenarannya. Walaupun alasan pentingnya pelestarian tersebut kadang-kadang masih diperdebatkan dan metode konservasi yang harus diikuti masih menjadi topik hangat yang perlu didiskusikan (Zobel and Talbert, 1984). Namun keinginan melestarikan materi genetik untuk keperluan breeding pada saat sekarang dan keperluan untuk mendapatkan jenis tanaman dengan sifat adaptasi tinggi terhadap lingkungan walaupun sifat tersebut masih belum terlihat kemanfaatannya saat ini, menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Adapun sifat yang bernilai ekonomi tinggi tersebut yang hingga kini masih belum dikaji secara intensif, misalnya adalah jenis jenis yang berpotensi untuk menghasilkan zat bioaktif, penghara industri masa depan, bahan konstruksi, penyerap C02 optimal dan lain sebagainya. |
|
---|
Jenis tersebut pada kondisi sekarang mengalami ancaman kemusnahan dalam bentuk menyusutnya individu-individu ataupun populasi jenis target, terisolasinya populasi jenis target menjadi fragmentasi populasi yang berukuran kecil-kecil dan masing masing terpisah satu dengan lainnya.karena deforestasi, fragmentasi, dan bencana alam.
Secara umum konservasi keragaman genetik dapat dilakukan, melalui dua pendekatan, yaitu secara in- situ, dan ex-situ. In-situ berarti melestarikan pohon dan tegakan pada sebaran alamnya, sedangkan ex-situ adalah melindungi gene atau gene complexes di kondisi buatan atau setidaknya diluar kondisi alaminya. Sering kali digunakan juga istilah gene bank sebagai pengganti istilah ex-situ , bilamana materi konservasi genetik yang dibangun berbentuk koleksi klon yang ada di lapangan„ kebun benih maupun pertanaman (Chomchalow, 1985). Konservasi exsitu termasuk juga didalamnya didalamnya adalah penyimpanan tepungsari (pollen) dan teknik-teknik In-vitro seperti kultur jaringan.
Berbicara tentang luasan ideal untuk konservasi in-situ, Hedegrat (1976) dalam Zobel et al. (1987), mengatakan bahwa hal itu sangat sulit dan hampir tidak mungkin, karena akan sangat tergantung dari potensi genetik , spesies yang ditangani dan kelimpahannya didalam hutan. Sebagai contoh disarankan bahwa areal 10 ha dianggap mamadai untuk areal konservasi in situ jati, karena areal tersebut akan dapat mengkonservasi antara 1.000- 6.000 individu dewasa, yang jumlah ini dianggap cukup besar untuk mewakilii subpopulasi jati terutama untuk Tectona hamiltoniana dan T. philipinensis. Ukuran luasan ini semakin sulit ditentukan untuk hutan tropis seperti di Amazon, Brazil yang jumlah maupun jenis floranya relatif belum banyak dikenal ( Davidson, 1983).
Untuk mengantisipasi kebutuhan akan materi genetik jenis hutan tropis pada saat ini Pemerintah Indonesia juga telah menunjuk Areal Sumber Daya Genetik dalam dua katagori, yaitu : (1) Tegakan benih yang terletak di hutan produksi tetap, seluas 100 hektar setiap RKL, dan (2) Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah juga terletak di hutan produksi tetap seluas 100 - 300 hektar setiap HPH. Kedua areal tersebut dapat dijadikan sumber benih bagi kegiatan tanam pengkayaan di areal bekas tebangan (Soekotjo, 1999), hanya saja hingga saat ini keberadaan areal perlu diinventarisir dan ditetapkan ulang, demikian pula cara pengelolaan dan pemanfataannya perlu dikaji lebih lanjut.
Berdasarkan pengalaman berbagai International Institusi seperti Austarlian Tree Seed Centre (ATSC), Central America and Mexican Conifer and Hardwood Species (CAMCORE), Oxford Forestry Institute (OCI) dan Danish International Devevopment Agency (DANIIDA), yang telah memanfaatkan areal sumberdaya genetik in-sitar sebagai sumber benih (materi genetak) Nikles (1992), mengajukan beberapa pertimbangan dalam kaitannya dengan pemanfaatan benih untuk program breeding suatu jenis sbb:
1). Jumlah pohon induk yang akan dikoleksi benihnya berkisar 30-50 potion per provenan dan tersebar secara merata mewakili populasi sedemikian sehingga sekaligus dapat difungsikan sebagai bagian dari ex sitir, multipopulasi maupun sub-line dalam strategi breeding,
2). Stategi samplingnya harus diarahkan untuk memperoleh beberapa provenans per areal sumberdaya genetik, dan mencakup seluruh sebaran alam species atau jenis tersebut,
3). Kumpulkan benih per potion, per provenan secara cukup. Benih dengan jumlah yang sama per pohon dicampur (bulked) untuk setiap provenans, dan penanaman antar provenan harus disolasi untuk menjaga keaslian provenans. 4). Bila mungkin dikumpulkan benih sebanyak banyaknya per potion untuk setiap provenans, sehingga memungkinkan untuk dibangunnya populasi dasar dengan masing-masing provenan seluas beberapa ratus Ha. Dengan demikian program pemuliaan dapat dimulai dengan lebih awal,
5). Bila memungkinkan data dan informasi dari pertanaman uji genetik yang dibangun untuk seluruh lokasi dan seluruh institusi yang terlibat dikumpulkan dan didistribusikan untuk dianalisis. Dengan demikian sumberdaya genetik yang memiliki prospek baik dapat dipantau secara terpisah, sehingga akan sangat bermanfaat dimasa mendatang.
PUSTAKA :
Na’iem, M, 2001. Konsevasi Sumberdaya Genetik untuk Pemuliaan Pohon. Seminar Sehari 70 Tahun Prof. Oemi H. Suseno; Peletakan Dasar-dasar dan Strategi Pemuliaan Pohon Hutan di Indonesia. Yogyakarta.
Oemi, H.S, 2000. Pemuliaan Pohon Hutan Indoensia Menghadapi Tantangan Abad 21. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Oemi, H.S, 2001. Peletakan Dasar-Dasar dan Strategi Pemuliaan Pohon Hutan di Indoensia. Orasi Ilmiah Purna Tugas. Prof. Dr. Ir. Hj. Oemi Hani’in Suseno. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wright, J.W, 1976. Introduction to Forest Genetics. Academic Press, Inc. San Diego California.
Zobel, B and John Talbert, 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons, Canada.
DNA, also known as deoxyribonucleic acid, is a thin, chainlike molecule found in every living cell on earth. It directs the formation, growth, and reproduction of cells and organisms. Short sections of DNA called genes determine heredity- that is, the passing on of characteristics-in living things. DNA is found mainly within a cell's nucleus, in threadlike structures called chromosomes. DNA even occurs in bacterial cells, which do not have a nucleus, and in some viruses. All DNA consists of thousands of smaller chemical units called nucleotides. Nucleotides are chemically bonded to one another to form thin, chainlike molecules known as polynucleotides. Each nucleotide contains a compound called a phosphate, a sugar called deoxyribose, and a compound called a base. The phosphate and sugar are the same in all DNA nucleotides, but the bases vary. There are four DNA bases: (1) adenine, (2) guanine, (3) thymine, and (4) cytosine. The exact amount of each nucleotide and the order in which they are arranged are unique for every kind of living thing.