Perbedaan penggunaan lahan ini menyebabkan berubahnya struktur dan komposisi vegetasi pada lahan tersebut dan pada akhirnya akan berpengaruh pada kestabilan ekosistem yang baru. Perubahan ekosistem menjadi ekosistem baru tidak hanya melibatkan vegetasi, tetapi juga melibatkan fauna baik yang hidup di atas tanah maupun permukaan tanah. Artinya fauna juga akan mengalami urutan perubahan yang paralel dengan tingkatan seral tumbuhan.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami dampak perubahan lanskap tersebut adalah melalui identifikasi jenis dan komposisi serangga yang ada untuk dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator guna memprediksi perubahan habitat maupun ekosistem tertentu. Hal ini beranjak dari pemahaman bahwa adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan, dimana jenis atau populasi tumbuhan, hewan termasuk serangga dan mikroorganisme akan mengalami perubahan kehadiran, vitalitas dan respon sebagai akibat pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut (Speight et.al., 1999).
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis tertarik melakukan penelitian apakah perubahan komunitas yang sekarang terjadi di kawasan Tahura mempengaruhi diversitas fauna. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan serangga yang selama ini dianggap sebagai bioindikator yang cukup responsif untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu habitat.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di hutan sekunder, kebun buah (dukuh), kebun karet dan belukar muda campur alang-alang di kawasan Bukit Mandiangin Tahura Sultan Adam Kalimantan Selatan dan Laboratorium Entomologi Dasar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan dari bulan Nopember 2006 – Maret 2007.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lup, mikroskop cahaya, kantong plastik, karet gelang, pinset, kotak serangga, jaring serangga, killing bottle, kertas label, botol spesimen, emergency lamp.
Metode Kerja
- Pengamatan serangga dilaksanakan pada tiap tipe penggunaan lahan seluas 1 ha (500m X 20m) yang terbagi atas 5 (lima) petak pengamatan (20 m x 100 m). Pada tiap petak pengamatan menggunakan 2 (dua) buah jaring serangga dan 1 (satu) buah emergency lamp
- Penangkapan dengan jaring serangga menggunakan dua rentang waktu yang berbeda yakni dari pukul 07.00 s/d 10.00 pagi , kemudian dilanjutkan kembali pada pukul 16.00 siang hingga pukul 18.00 sore
- Serangga – serangga yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam killing bottle
- Selanjutnya dilakukan pemilahan koleksi dan identifikasi sampai tingkat famili dan secara morphospesies
Analisis Data
Parameter yang dihitung adalah :
- Kekayan Jenis Serangga ( Richness )
Untuk mengetahui kekayaan jenis serangga dalam satu kawasan digunakan rumus yang dikemukakan oleh Margalef (Reynold, 1988) yakni :
R = S – 1
Ln N
Dimana :
R = Indeks Kekayaan Jenis
S = Jumlah Jenis Serangga
N = Jumlah Total Individu Serangga
Ln = Logaritma Natural
- Keanekaragaman Serangga ( Diversity)
Untuk mengetahui keanekaragaman serangga dalam satu kawasan digunakan indeks keanekaragaman jenis yang dikemukakan oleh Shanon dan Wiener (Reynold, 1988) yakni :
H’ = - [(ni/N) Ln (ni/N)]
Dimana :
H’ = Keanekaragaman Jenis Serangga
ni = Jumlah Individu Tiap Jenis Serangga
N = Jumlah Total Individu Seluruh Serangga
- Kerataaan Serangga (Eveness)
Untuk mengetahui kerataan serangga digunakan rumus yang dikemukakan oleh Peilou (Reynold,1988 ) yakni :
é = H’ / Ln S
Dimana :
é = Index Kerataan Jenis
S = Jumlah Jenis Serangga
H’ = Index Keanekaragaman Jenis
Ln = Logaritma Natural
Struktur komunitas serangga antar lahan dibandingkan menggunakan indeks kesamaan Sorensen (Suin,1989) sebagai berikut :
IS = 2j x 100 %
a + b
Dimana :
IS = Indeks kesamaan komunitas
j = Jumlah spesies yang terdapat pada ke dua tipe penggunaan lahan
a = Jumlah spesies pada lahan A
b = Jumlah spesies pada lahan B
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komunitas Serangga di Beberapa Tipe Penggunaan Lahan
Jumlah keseluruhan serangga di lokasi pengamatan sebanyak 1183 individu yang terdiri atas 11 ordo, 49 famili dan 68 spesies. Ordo Lepidoptera dan Hymenoptera mendominasi jumlah serangga dari keseluruhan lokasi masing-masing sebesar 39,56 % dan 20,03 % dari keseluruhan spesimen. Adapun persentase individu berdasarkan ordo serangga yang ditemukan pada beberapa tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Persentase Individu Serangga berdasarkan Ordo yang diperoleh di lokasi penelitian
Jumlah serangga yang dikoleksi pada beberapa tipe penggunaan lahan di Kawasan Bukit Mandingin dengan menggunakan alat tangkap jaring serangga dan Emergency Lamp dapat dilihat pada Tabel 1 :
Tabel 1. Jumlah Serangga di Beberapa Tipe Penggunaan Lahan pada Kawasan Bukit Mandiangin
No |
Penggunaan Lahan |
Ordo |
Famili |
Jenis |
Individu |
1 |
Hutan Sekunder |
10 |
35 |
46 |
412 |
2 |
Kebun Buah (dukuh) |
10 |
35 |
47 |
409 |
3 |
Kebun Karet |
9 |
25 |
29 |
229 |
4 |
Belukar Muda & Alang-alang |
6 |
14 |
17 |
133 |
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa populasi serangga terbanyak ditemukan pada hutan sekunder kemudian diikuti pada lokasi kebun buah, kebun karet dan belukar muda campur alang-alang. Jumlah jenis serangga yang ditemukan di kebun buah lebih banyak dibanding jumlah jenis serangga yang ditemukan di hutan sekunder karena pada saat penelitian berlangsung di kebun buah sedang musim berbunga sehingga diduga lebih banyak serangga pollinator yang sedang beraktivitas.
Perbedaaan jumlah serangga yang ekstrim dapat dilihat pada jumlah serangga di belukar muda campur alang-alang dengan di hutan sekunder, kebun buah dan kebun karet. Tinggi rendahnya jumlah populasi di suatu habitat berkaitan dengan kondisi lingkungan habitat yang bersangkutan. Kondisi lingkungan tersebut dapat berubah-ubah akibat adanya pengaruh atau gangguan baik faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal dapat berupa akibat aktivitas manusia, kebakaran hutan sedangkan faktor internal dapat berupa adannya persaingan dan sifat ketergantungan dari komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan habitat itu sendiri misalnya ketersediaan makanan/pakan bagi serangga seperti vegetasi atau serangga lain yang berukuran lebih kecil sebagai mangsa.
Jumlah serangga terbanyak ditemukan pada hutan sekunder dan kebun buah, hal ini dapat dijelaskan karena pada kedua tipe penggunaan lahan tersebut, terdapat keanekaragaman vegetasi yang lebih banyak sehingga merupakan sumber pakan yang melimpah bagi serangga yang mempengaruhi populasi serangga. Vegetasi pada hutan sekunder di lokasi pengamatan antara lain palawan (Tristania maingayi), kayu kacang (Strombosia javanica), madang pirawas (Neolitsia cassifolia), tengkook ayam (Nephelium sp), margatahan (Palaquium desypyllum), kayu kikir (Casearia grewiefolia), keruing (Dipterocarpus spp) dan lain-lain, sedangkan vegetasi pada kebun buah pada saat pengamatan antara lain didominasi oleh durian (Durio zibethinus), pampakin (Durio kutejensis), rambutan (Nephelium lappaceum), langsat (Lansium domesticum), hambawang (Mangifera feotida), ramania (Benca macrophylla), nangka (Arthocarpus heterophyllus), cempedak (Arthocarpus integra), kesturi (Mangifera sp) dan lain-lain. Kelimpahan populasi serangga pada suatu habitat ditentukan oleh adanya keanekaragaman dan kelimpahan sumber pakan maupun sumber daya lain yang tersedia pada habitat tersebut. Serangga menanggapi sumber daya tersebut dengan cara yang kompleks. Keadaan pakan yang berfluktuasi secara musiman akan menjadi faktor pembatas bagi keberadaan populasi hewan di suatu tempat oleh adanya kompetisi antar individu.
Jumlah dan jenis serangga akan semakin meningkat pada komunitas yang memiliki kuantitas dan kualitas pakan yang sesuai dengan kebutuhan serangga. Antara vegetasi dan serangga terjadi hubungan yang dapat menstabilkan ekosistem hutan. Bila salah satu komponen terganggu maka akan mempengaruhi keberadaan komponen lainnya. Hal ini ditegaskan oleh Berryman (1986), yang menyebutkan bahwa serangga berperan penting dalam proses suksesi dan menjaga kestabilan ekosistem hutan. Berdasarkan Keppres RI No. 52 Tahun 1989 salah satu fungsi pokok dari kawasan Tahura Sultan Adam adalah sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan meningkatkan fungsi hidrologi DAS Riam Kanan dan sekitarnya. Maka sudah sewajarnyalah fungsi itu tetap kita pertahankan setinggi mungkin.
Populasi serangga yang ditemukan pada kebun karet lebih kecil daripada serangga yang ada pada hutan sekunder dan kebun buah, hal ini terjadi diduga berkaitan dengan kondisi kebun karet yang hanya terdiri satu jenis saja sehingga menjadi faktor pembatas bagi ketersediaan pakan bagi serangga. Populasi serangga yang ditemukan pada belukar muda campur alang-alang mempunyai angka yang lebih kecil dibandingkan ketiga tipe penggunaan lahan lainnya, hal ini juga diduga berkaitan dengan ketersediaan pakan bagi serangga sehingga sedikit sekali serangga yang menjadikan belukar muda campur alang-alang sebagai habitatnya. Hal ini didukung oleh pendapat Natawigena (1990) bahwa keanekaragaman jenis vegetasi memberikan sumbangan yang sangat penting bagi keberadaan serangga, karena serangga akan menghabiskan separuh siklus hidupnya pada suatu habitat yang dapat menyediakan sumber pakan dalam jumlah yang optimal sesuai kebutuhan. Disisi lain vegetasi dapat berperan sebagai habitat bagi serangga untuk berbagai aktivitas diantaranya sebagai tempat berlindung, tempat pembuatan sarang maupun tempat beristirahat.
Selain vegetasi sebagai sumber pakan, kehadiran serangga lain yang berperan sebagai mangsa bagi serangga yang bersifat predator dalam suatu habitat. Hasil analisa serangga menunjukkan bahwa jumlah maupun jenis serangga di beberapa tipe penggunaan lahan cukup bervariatif sehingga mempengaruhi aktivitas makan serangga yang bersifat predator. Misalnya serangga dari ordo Odonata akan bertindak sebagai predator terhadap serangga dari ordo Orthoptera, Lepidoptera (ngengat), serangga ordo Orthoptera bertindak sebagai predator terhadap serangga ordo Hemiptera.
Faktor lain yang diduga juga berpengaruh terhadap populasi serangga adalah antara lain ketersediaan air yang umumnya diperoleh serangga melalui makanan yang mengandung air. Dengan tingginya jumlah vegetasi yang ada pada hutan sekunder, kebun buah, kebun karet dibanding pada belukar muda dan alang-alang, maka otomatis berpengaruh pada ketersediaan air bagi serangga. Selain itu pada ketiga lokasi pertama didapati anak sungai-anak sungai yang banyak disukai oleh beberapa jenis serangga yang beraktivitas di sekitar daerah yang berair sehingga turut berpengaruh pada populasi serangga, sementara kondisi habitat seperti ini tidak didapati pada belukar muda campur alang-alang. Lebih tingginya keragaman spesies serangga pada habitat yang vegetasinya lebih beragam terhadap kerusakan habitat, mengindikasikan perlunya mempertahankan keragaman jenis tumbuhan setinggi mungkin.
Keragaman serangga yang ditangkap dengan menggunakan jaring serangga dan sistem ”Light trapping” dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Serangga di Lokasi Penelitian berdasarkan Waktu Aktif Serangga
Tipe Lahan |
Waktu Aktif |
Ordo |
Famili |
Jenis |
Individu |
Ht.Sekunder |
Siang
Malam |
8
7 |
20
17 |
25
21 |
221
191 |
Kb.Buah (dukuh) |
Siang
Malam |
10
7 |
24
17 |
28
25 |
221
188 |
Kb.Karet |
Siang
Malam |
9
6 |
20
8 |
21
10 |
126
103 |
Belukar Muda
Alang-alang |
Siang
Malam |
6
3 |
10
4 |
12
5 |
95
38 |
Serangga yang aktif pada siang hari terdiri dari ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Coleoptera, Odonata, Hemiptera, Orthoptera, Diptera, Neuroptera, Blattodea dan Mantodea, sedangkan serangga yang aktif pada malam hari terdiri dari ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Coleoptera, Hemiptera, Diptera, Trichoptera, Blattodea dan Orthoptera.(Lampiran 14 s.d Lampiran 21). Jumlah famili serangga malam lebih kecil dibandingkan jumlah famili serangga yang aktif pada siang hari, hal ini dikarenakan famili untuk serangga yang aktif pada malam hari tidak sebanyak pada siang hari (Borror et all, 1992). Hal ini sejalan dengan penelitian Harmonis (2000) dan Latumahina (2006) yang mengemukakan bahwa famili serangga yang ditemukan pada malam hari sedikit lebih berkurang dibanding serangga pada siang hari. Perbedaan lain yang ditimbulkan oleh waktu penangkapan adalah terjadinya variasi ordo, famili dan jenis yang hadir pada tiap tipe penggunaan lahan. Variasi-variasi tersebut terjadi oleh karena masing-masing famili atau jenis mempunyai waktu-waktu aktif yang berlainan.
Jumlah ordo, famili maupun jenis serangga siang yang ditemukan pada kebun buah lebih banyak daripada tipe penggunaan lahan lainnya. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian sedang musim berbunga sehingga kehadiran serangga yang aktif pada siang hari (diurnal) dapat juga dikaitkan dengan potensinya sebagai serangga pollinator (serangga penyerbuk bagi vegetasi yang sedang berbunga). Sedangkan kehadiran serangga yang aktif pada malam hari (nocturnal) dapat pula dikaitkan dengan potensinya sebagai hama.
Kekayaan, Keanekaragaman dan Kerataan Jenis Serangga
Nilai kekayaan, keanekaragaman dan kerataan serangga pada tiap tipe penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Total Nilai Kekayaan, Keanekaragaman dan Kerataan Jenis Serangga pada Lokasi Penelitian
Tipe Lahan |
Kekayaan Jenis (R) |
Keanekaragaman Jenis (H’) |
Kerataan Jenis (é) |
Ht.Sekunder
Kb.Buah (dukuh)
Kb.Karet
Belukar Muda&Alang-Alang |
66.7661
66.3483
40.4879
25.9695 |
3.7949
3.6240
3.2082
2.6489 |
0.9912
0.9413
0.9528
0.9350 |
Pada Tabel 3 menunjukkan baik nilai kekayaan jenis maupun nilai keanekaragaman jenis tertinggi pada hutan sekunder diikuti kebun buah, kebun karet dan belukar muda campur alang-alang. Nilai kerataan jenis tertinggi pada hutan sekunder, kemudian diikuti kebun karet, kebun buah dan terendah pada belukar muda campur alang-alang. Hal ini menunjukkan bahwa pada keempat tipe penggunaan lahan , sebaran individu dari tiap jenis individu yang hidup di dalamnya relatif lebih merata, walaupun nilai kekayaan dan keanekaragaman jenis serangga pada masing-masing tipe penggunaan lahan berbeda.
Perbedaan nilai kekayaan jenis (R), keanekaragaman jenis (H’) maupun kerataan jenis (é) secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar dari kehidupan serangga. Faktor dalam antara lain kemampuan berkembang biak, perbandingan kelamin, sifat mempertahankan diri dan siklus hidup. Faktor luar yang mempengaruhi keberadaan serangga adalah suhu, kelembaban, cahaya, warna, bau, angin, makanan, parasit dan predator (Elzinga,1978).
Nilai keanekaragaman jenis serangga yang menggambarkan keragaman serangga mengalami penurunan seiring dengan berubahnya penggunaan lahan dari hutan sekunder, kebun buah, kebun karet yang terdiri dari satu jenis saja sampai pada belukar muda dan alang-alang yang sering mengalami kebakaran. Hal ini menunjukkan adanya perubahan habitat di kawasan Bukit Mandiangin dari hutan sekunder, kebun buah, kebun karet sampai belukar muda campur alang berpengaruh terhadap diversitas, dalam hal ini mempengaruhi diversitas serangga. Jadi dapatlah dikatakan bahwa konversi hutan menjadi peruntukan lain dapat menurunkan nilai keanekaragaman jenis serangga. Hal ini sejalan dengan penelitian Subahar,T (2004), terjadi penurunan nilai keanekaragaman serangga dari Hutan Campuran, Hutan Pinus, Lahan Bekas Kebun.
Konsekuensi langsung dari penurunan keragaman spesies adalah menurunnya layanan ekosistem serangga dan akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi manusia. Sebagai contoh, menurunnya populasi serangga predator dan polinator masing-masing menyebabkan peningkatan populasi serangga hama dan menurunnya keberhasilan reproduksi tumbuhan. Penurunan keragaman serangga dekomposer seperti kumbang bubuk antara lain dapat memperlambat siklus hara sehingga berpeluang menurunkan kesuburan tanah.
Hutan sekunder dan kebun buah mempunyai diversitas yang tinggi karena kondisi habitat pada saat penelitian terdiri dari vegetasi yang beragam , sehingga semakin tinggi keanekaragaman vegetasi pada suatu habitat maka semakin tinggi pula sumber pakan bagi serangga dalam suatu habitat. Penanaman dengan sistem monokultur seperti kebun karet mengakibatkan berkurangnya sumber pakan bagi serangga, sehingga diversitas serangga akan berkurang, hal yang sama terjadi pada belukar muda campur alang-alang, vegetasi yang ada merupakan sumber pakan yang tidak melimpah bagi serangga sehingga sedikit sekali serangga yang didapati di habitat itu. Jadi dapat dikatakan bahwa penggunaan lahan yang berbeda akan membentuk iklim mikro dan sumber makanan yang berbeda. Iklim mikro dan sumber makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi diversitas serangga. Adanya simplifikasi jenis seperti kebun karet dapat mengurangi diversitas sumber makanan dan perlindungan bagi serangga, sehingga dapat mengurangi diversitas serangga. Braganca, M (1997) menyatakan bahwa serangga dari Ordo Hymenoptera yang merupakan predator dari hama Lepidoptera yang menyerang tanaman Eucalyptus lebih banyak ditemukan pada hutan alami dibandingkan pada hutan tanaman Eucalyptus. Hal ini terjadi karena beragamnya sumber makanan di hutan alami yang dapat mengurangi jenis dari Lepidoptera yang berpotensi sebagai hama.
Perkembangan komunitas suatu habitat juga dapat mempengaruhi keanekaragaman serangga pada keempat tipe penggunaan lahan. Komunitas yang terdapat pada hutan sekunder, kebun buah memiliki tingkat keanekaragaman yang lebih tinggi dibanding kebun karet dan belukar muda campur alang-alang. Hal ini dapat dijelaskan dari beragamnya flora dan fauna pada saat penelitian di hutan sekunder dan kebun buah.
Meskipun nilai keanekaragaman serangga yang diteliti mengalami penurunan akibat konversi hutan menjadi kebun buah, namun umumnya ditemukan bahwa penggunaan lahan berupa kebun buah yang terdiri dari beranekaragam jenis vegetasi (polikultur) masih mampu mendukung sebagian besar dari jenis serangga yang terdapat dalam hutan dibanding penggunaan lahan berupa kebun karet (sistem monokultur) dan belukar muda campur alang-alang. Penelitian Shahabuddin (2005) menunjukkan penurunan kekayaan spesies kumbang koprofagus dari hutan alami ke daerah terbuka namun kekayaan spesies pada sistem agroforestri kakao (17 spesies) tidak berbeda nyata dengan hutan alami (19 spesies) akan tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah terbuka (9 spesies). Meskipun demikian hal ini tidak cukup menjadi alasan untuk menkonversi seluas mungkin hutan di Tahura Sultan Adam menjadi lahan perkebunan karena hutan memiliki sejumlah fungsi lainnya selain sebagai pendukung kelestarian keragaman hayati yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan fungsi-fungsi tersebut tidak bisa diambil alih sepenuhnya oleh penggunaan lahan seperti kebun buah dan kebun karet.
Namun di sisi lainnya seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahanpun akan meningkat sehingga mau tidak mau lahan hutanpun akan berkurang. Konversi hutan yang terus menerus terjadi karena alasan ekonomi. Adanya perubahan komunitas dari hutan menjadi kebun buah (dukuh), kebun karet dan belukar muda mengorbankan diversitas, sehingga diperlukan penataan bentang alam yang mendukung kelestarian keragaman hayati tanpa mengenyampingkan kepentingan masyarakat lokal dalam pengelolaan Tahura Sultan Adam.
Sudah saatnya dirumuskan sistem penataan bentang alam (lanskap) di Kawasan Tahura Sultan Adam yang mendukung kelestarian keragaman hayati dengan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan. Sistem penataan yang dapat diusulkan adalah bagaimana mempertahankan sebanyak mungkin hutan alami yang tersisa serta mempertahankan vegetasi alami sebanyak mungkin pada pemanfaatan hutan secara tradisional. Termasuk dalam strategi ini adalah bagaimana memaksimalkan konektivitas antara hutan alami dengan berbagai pola pemanfaatan hutan dan lahan yang ada sehingga dapat mencegah terjadinya fragmentasi habitat yang merupakan salah satu penyebab utama menurunnya keragaman hayati.
Keanekaragaman hayati yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang dapat menurunkan produktivitas primer ekosistem. Sebaliknya apabila kehilangan keanekaragaman hayati maka akan menyebabkan tidak stabilnya ekosistem hutan (Elzinga, 1978). Hal ini didukung oleh pendapat Odum (1988) yang menyatakan bahwa pada ekosistem yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi umumnya terdapat rantai makanan yang lebih panjang dan kompleks, sehingga lebih banyak terjadi interaksi seperti pemangsaan, parasitisme, kompetisi, komensalisme yang lebih besar sehingga interaksi ini dapat mengurangi goncangan-goncangan, sehingga ekosistem tetap berlangsung stabil. Keanekaragaman hayati di dalam ekosistem mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber daya maupun dalam pemeliharaan ekosistem karena keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu suatu aspek yang bertalian erat dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan ekosistem.
Struktur Komunitas Serangga
Struktur komunitas serangga dapat dilihat melalui nilai Indeks Kesamaan Komunitas pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Indeks Kesamaan Komunitas Serangga pada beberapa Tipe Penggunaan Lahan
Lahan |
Kebun Buah |
Kebun Karet |
Belukar Muda&Alang-Alang |
Ht.Sekunder
Kebun Buah
Kebun Karet |
66.67 % |
48.00 %
60.53 % |
38.10 %
37.50 %
47.83 % |
Nilai IS (Indeks Kesamaan Komunitas) berkisar antara 0 % - 100 %, jadi makin dekat 100 dua contoh yang dibandingkan semakin bersamaan dan jika mendekati 0 %, maka kondisi kedua contoh yang dibandingkan semakin berlainan (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Hutan sekunder dan kebun buah menunjukkan indeks kesamaan komunitas yang tertinggi yaitu sebesar 66.67 %. Hal ini diduga karena berhubungan dengan kondisi kedua habitat yang tidak jauh berbeda. Struktur vegetasinya lebih beraneka ragam, begitu juga keadaan kanopinya yang hampir sama, sehingga berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro di dalam kedua habitat tersebut. Sedangkan indeks kesamaan komunitas terendah pada kebun buah dan belukar muda campur alang-alang sebesar 37.50 % dan pada hutan sekunder dan belukar muda campur alang-alang sebesar 38.10 %.
Pendugaan Serangga sebagai Indikator
Beberapa syarat penggunaan serangga sebagai bioindikator dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Syarat Penggunaan Serangga sebagai Indikator Kesehatan Ekosistem
Butler dkk (1971) |
Pearson (1994) |
Organisme indikator harus memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap perubahan lingkungan |
Organisme indikator secara taksonomi telah stabil dan cukup diketahui |
Organisme indikator memiliki kebiasaan hidup menetap di suatu tempat atau pemencarannya terbatas |
Organisme indikator mudah disurvey |
Organisme indikator mudah dilakukan pengambilan sampel dan umum dijumpai pada lokasi penelitian |
Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat |
Organisme indikator berumur panjang sehingga dapat diperoleh individu contoh dari tiap stadium dan tingkatan umur |
Taksa yang lebih rendah bersifat spesialis dan sensitif terhadap perubahan lingkungan |
Pendugaan serangga untuk dijadikan bioindikator perubahan suatu ekosistem tidaklah mudah dilakukan dalam waktu penelitian yang relatif singkat. Penarikan kesimpulan akhir mengenai serangga sebagai bioindikator perubahan ekosistem untuk taksa ordo, famili maupun jenis memerlukan banyak kriteria. Selain itu rentang waktu pengamatan yang diperlukan guna melihat perilaku serangga atau pun perubahan yang terjadi dalam suatu ekosistem
Dilihat dari jumlah kehadiran serangga pada keempat tipe penggunaan lahan, maka serangga dari ordo Lepidoptera mendominasi populasi serangga. Hal ini menunjukkan bahwa ordo Lepidoptera terdistribusi secara luas pada keempat habitat di kawasan Bukit Mandiangin. Ada kecenderungan beberapa famili yang kehadirannya menurun bahkan tidak ditemukan seiring dengan perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi kebun buah, kebun karet dan belukar muda campur alang-alang. Famili-famili tersebut antara lain Noctuidae, Pyralidae, Nymphalidae, Arctiidae, Pieridae, Geometridae, Satyridae, Formicidae, Libellulidae, Coenagrinidae.
Organisme bioindikator dapat dilihat dari kehadiran maupun ketidakhadirannya pada suatu habitat. Seiring dengan berubahnya habitat dari hutan sekunder, kebun buah, kebun karet menjadi belukar muda campur alang-alang, ada famili bahkan jenis yang hanya ditemukan pada hutan sekunder saja dan tidak ditemukan pada lokasi yang lain. Hal ini menandakan bahwa famili atau jenis tersebut cukup sensitif dan mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap perubahan lingkungan. Pada ordo Lepidoptera, famili yang hanya terdapat pada hutan sekunder adalah famili Danaidae (D2), Hesperidae (H1), Lycanidae (L1) ditemukan pada siang hari dan famili Geometridae (G2) yang ditemukan pada malam hari. Ketidakhadiran famili-famili tersebut menandakan perubahan penggunaan lahan di Kawasan Bukit Mandiangin mengakibatkan berubahnya suatu ekosistem dan menciptakan ekosistem baru dan mempengaruhi diversitas dalam hal ini kehadiran dan ketidakhadiran jenis serangga tertentu yang berasosiasi dan sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Ordo serangga yang perlu mendapat perhatian adalah dari ordo Odonata, karena dari hasil beberapa penelitian ordo Odonata adalah salah satu serangga akuatik yang banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air suatu daerah. Pada lokasi penelitian, populasi ordo Odonata ini akan mengalami penurunan seiring dengan berubahnya tata guna lahan dari hutan sekunder, kebun buah, kebun karet dan belukar muda campur alang-alang. Karena umumnya serangga odonata akan dijumpai di sepanjang aliran air, pinggiran sungai, danau atau kolam yang belum mengalami gangguan pencemaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Weaver (1995) bahwa pada umumnya serangga dari ordo Odonata dan Lepidoptera memiliki tingkat penyebaran dan kelimpahan di alam cukup banyak dan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan yang terjadi dalam suatu komunitas. Namun sejauh mana potensi suatu organisme digunakan sebagai indikator, diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian lapangan dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Jumlah keseluruhan serangga di lokasi pengamatan sebanyak 1183 individu yang terdiri dari 11 ordo, 49 famili dan 68 spesies. Ordo Lepidoptera dan Hymenoptera mendominasi perolehan serangga dari keseluruhan lokasi sebesar 39,56 % dan 20,03 % dari keseluruhan spesimen
- Serangga yang ditemukan di hutan sekunder terdiri dari 10 ordo, 35 famili, 46 jenis dan 412 individu, di kebun buah terdiri dari 10 ordo, 35 famili, 47 jenis dan 409 individu, di kebun karet terdiri 9 ordo, 25 famili, 29 jenis dan 229 individu, di belukar muda campur alang-alang terdiri dari 6 ordo, 14 famili, 17 jenis dan 133 individu
- Struktur dan kelimpahan komunitas serangga akan berubah seiring dengan perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian, karena adanya hubungan yang erat antara serangga dengan kondisi habitat lingkungannya
- Serangga yang diduga berpotensi sebagai indikator ekologis adalah famili Danaidae (D2), Hesperidae (H1), Lycanidae (L1) dan famili Geometridae (G2) dari ordo Lepidoptera.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya menghaturkan terima kasih yang dalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardi, M.For.Sc., dan Dr.Ir. Musyafa, M.Agr selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penelitian ini.
Artikel Terkait :
DAFTAR PUSTAKA
Alfaro, R .I .,& Singh,P. 1997. Forest Health Management : A Changing Persfective
Boror, DJ and Dwight, M.D. 1954. An Introduction to the Study Of Insect. Printed in The United State of America.
Boror, Triplehorn. Johnson, 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Braganca,M. 1997. Effect of Enviromental Heterogenity on Lepidoptera and Hymenoptera Populations in Eucalyptus Plantation in Brazil. Forest Ecology and Management 103 (1998).
Elzinga, R.J. 1978. Fundamental of Entomology. Prentice Hall of India. Private Limited. New Delhi.
Gaston, K.J.. 1994. Spatial Patterns of Species Description – How is Our Knowledge of The Global Insect Fauna Growing. Biological Conservation, 67 : 37 – 40.
Harmonis. 2000. Keanekaragaman Serangga dan Hama pada Anakan Acacia Mangium di Bukit Soeharto. Rimba Kalimantan. Vol 4.No.1.
Klein, B.C. 1989. Effect of Forest Fragmentation on Dung and Carrion Beetle Communities in Central Amazonia.
Krebs, C.J. 1985. Ecology. The Experimental Analisys of Distribution and Abudance. Third Edition. Harper & Raws Publishers. New York.
Latumahina,F. 2006. Keanekaragaman Serangga dan Vegetasi pada Dua Kawasan Resapan Air di Kota Ambon Provinsi Maluku. Tesis S-2. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan).
Natawigena, H. 1990. Entomologi Pertanian. Penerbit PT. Orba Sakti Bandung.
Odum, E.D. 1998. Dasar-Dasar Ekologi (Terjemahan Ir. Tjahjono Samingan, MSc). Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press.
Pearson, D.L. 1994. Selecting Indicator Taxa for the Quantitativ Assessment of Biodiversity. Philosophical Transaction of the Royal Society of London, Series B : Biological Sciences.
Price, 1975. Insect Ecology. John Wiley and Sons, Inc New York.
Shahabuddin, 2003. Pemanfaatan Serangga sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan (Makalah Individu Pengantar Falsafah Sains), http : rudyet.topcities.com/702_71034 Shahabuddin_shl.htm, tanggal kunjungan 19 Februari 2006.
Shahabuddin, 2005. Changes of Dung Beetle Communities from Rainforests toward Agroforestry systems and Annual Cultures in Sulawesi (Indonesia). Biodiversity and Conservation 34. 863-877, 2005.
Soerianegara, I dan Indrawan, A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Southwood, T.R.E. 1975. The Dynamics of Insect Population, in Insect , Science and Society, D.Pimentel. Academic Press, Inc, New York.
Speight, M.R., Hunter, M.D., Watt, A.D., 1999. Ecology of Insects, Consepts and Applications.Blackwell Science,Ltd. 169 - 179.
Subahar, T. 2004. Keanekaragaman Serangga pada Bentang Alam yang Berbeda di Kawasan Gunung Tangkuban Parahu. Konferensi Nasional Konservasi Serangga, Bogor 2007.
Suin, 1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara, Jakarta.
Sulthoni, A., Subyanto. 1980. Kunci Determinasi Serangga. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
|